KUR BRI Wujudkan Mimpi Sang Maestro Lukisan Keliki
Sepenuh Hati Pandu Wisatawan di Bali Nature Treks and Art
Gianyar, PancarPOS | Sinar mentari perlahan bergeser naik dari ufuk Timur. Tampak belasan wisatawan asing yang sedang sibuk belajar seni lukis di bawah sebuah pondok. Lokasinya di Banjar Triwangsa, Desa Keliki, Kecamatan Tegallalang, Kabupaten Gianyar, Bali. Pada Minggu pagi (21/4/2024), mereka terlihat sangat serius menyelesaikan pelajaran melukis yang telah diberikan oleh salah satu Sang Maestro Lukisan Keliki, Ida Bagus Ketut Dharma. Dia tinggal di desa tradisional kecil, bernama Keliki yang terletak hanya 20 menit berkendara ke utara dari daerah pariwisata Ubud. Tidak hanya turis asing, ia juga sering didatangi oleh anak-anak dan tamu domestik dari Bali maupun luar Bali. Pelajaran seni lukis itu, merupakan salah satu aktifitas yang diberikan di Bali Nature Treks and Art. Bukan sembarang gaya lukisan, Gus Dharma sapaan akrabnya ini, juga mengajarkan seni lukis miniatur Keliki Style. Di mana gaya lukisan itu merupakan originalitas dari Desa Keliki. Di tempat itu, ia dibantu oleh putranya lulusan Sarjana Sastra dan Budaya di Universitas Warmadewa, Denpasar, selalu menjelaskan jika hal ini sebagai bagian dari upayanya melestarikan seni dan tradisi budaya Bali. Seni lukis gaya Keliki sendiri, merupakan salah satu aliran seni lukis Bali yang mulai berkembang pada akhir tahun 1970-an, atau bertepatan dengan era puncak kejayaan kelompok seni rupa Pita Maha di Ubud. Ciri-ciri seni lukis Keliki Kawan umumnya dibuat pada medium kertas dengan ukuran yang kecil. Selain ukuran medium yang kecil, aliran Keliki juga memiliki ciri pengungkapan bentuk yang detail dengan ukuran tidak lebih besar dari jari kelingking orang dewasa. Ukuran kertas yang digunakan antara 10 sampai dengan 15 centimeter, namun ukuran tersebut kini berkembang lebih variatif dengan tetap menampilkan bentuk yang detail dan kecil.
Penampilan yang unik melalui ukuran medium yang kecil dan detail pada lukisan Keliki, merupakan daya tarik utama bagi publik seni. Banyak dari kolektor lukisan mengakui yang menjadi daya tarik lukisan Keliki adalah ukuran medium yang relatif kecil dan detail dalam setiap lukisan. Meskipun nilai pembaruan dalam pengungkapan tema lukisan perlu ditingkatkan sebagai daya tarik. Sejak muncul dan berkembangnya seni lukis Keliki hingga tragedi bom Bali pertama, pada 12 Oktober 2002 lukisan Keliki sangat diminati oleh wisatawan dan kolektor, baik lokal maupun asing, sehingga banyak warga di Desa Keliki yang memilih beralih profesi menjadi pelukis. Bahkan sampai ada yang memanfaatkan kesempatan ini dengan melakukan segala cara, seperti produksi massal dan penggantian nama pelukis pada lukisan Keliki. Bahkan, disebutkan beberapa karya seniman ditiru dengan dijiplak, dan fotokopi. Di samping itu, ada pula yang mengganti nama pelukis aslinya dengan namanya sendiri, dan tentunya dengan tujuan keuntungan yang lebih. Namun setelah tragedi Bom Bali pertama yang berdampak buruk pada sektor pariwisata, terjadi penurunan permintaan pasar untuk lukisan Keliki, sehingga mayoritas warga yang tadinya menjadi pelukis beralih profesi ke sektor pertanian. Ketertarikan warga Keliki pada seni lukis berangsur kembali normal sejak tahun 2010, dan membangkitkan kembali eksistensi seni lukis Keliki. Di antaranya, Gus Dharma yang mengisahkan saat itu, memang hobi melukis dari kecil, karena kedua kakeknya, Ida Bagus Putu Rawi, dan Anak Agung Oka Kebot, juga seorang seniman terkenal di Desa Keliki. Tidak saja melukis, namun juga ahli sebagai tukang ukir, menganyam, bahkan membuat barong. “Seni ini tiyang (saya, red) pelajari dari kakek saya yang merupakan seniman Keliki yang sangat terkenal. Tiyang punya dua kakek, dari bapak dan dari ibu yang keduanya seniman. Mereka juga selalu bekerja bersama,” kenangnya.
Dari sanalah, ia akhirnya bisa belajar dan dapat inspirasi, karena selalu ikut bersama mereka saat bekerja, dan tidur pun bersama, sehingga bisa diajari aneka macam kesenian. Setelah berusia sekitar 14 tahun, ia punya ide untuk melanjutkan seni lukisan Keliki, karena hasil karya lukisan dari kakeknya dulu hanya dipakai untuk hiasan dinding di pura atau merajan, bukan untuk dijual ke galeri lukisan. “Tiyang lanjutkan detail lukisan itu, di atas kertas yang dinamai lukisan Keliki, karena berasal dari Desa Keliki. Dan kini banyak teman-teman yang belajar saat nika (itu, red). Mulai tahun 1991 tiang mulai mengajari anak-anak di Desa Keliki sampai sekarang,” beber seniman kelahiran tahun 1973 ini. Dikisahkan, saat era tahun 80-an hingga 90-an di Desa Keliki kurang lebih 95 persen penduduknya merupakan pelukis. Bahkan saat itu, banyak warga dari desa atau banjar lain mendatangi Desa Keliki untuk belajar melukis. Seiring berjalannya waktu dan perkembangan jaman, juga akibat pasar yang kurang mendukung, terutama setelah terjadinya Bom Bali, banyak dari seniman yang beralih profesi. Lalu, semakin banyak seniman akhirnya mulai meninggalkan aktivitas seni melukis. Atas dasar itulah, Gus Dharma bersemangat, mengemban misi membangkitkan kembali gaya lukisan Keliki. “Dari keprihatinan saya atas seni lukis ini, tiyang mencari bibit-bibit pelukis anak-anak untuk saya ajak belajar melukis,” katanya. Dia mulai mendoktrin generasi muda untuk ikut melestarikan gaya tersebut. Salah satu dari lima gaya lukisan, yakni gaya tradisional Bali berasal dari desanya. Oleh karena itu, lukisan jenis ini sampai sekarang disebut lukisan gaya Keliki. “Tiang jadi seorang seniman yang melukis dengan gaya tradisional Keliki yang bercirikan gambar detail hitam putih yang menggambarkan kehidupan dan upacara adat desa. Sebelum diperkenalkannya warna oleh seniman barat yang bermukim di Bali pada awal abad ke-20, semua lukisan tradisional Keliki hanya dibuat dengan tinta hitam China,” tegasnya.
Sebagai satu-satunya seniman Keliki yang tersisa di desanya, Gus Dharma kini mengajarkan gaya melukis ini kepada banyak anak-anak di desanya, dengan harapan beberapa dari mereka akan meneruskan bentuk dan gaya seni lukis tradisional ini. Ia merasa beruntung lukisannya telah dipamerkan dan dijual di beberapa museum dan galeri seni besar di Bali, serta banyak dikoleksi oleh pecinta seni lokal dan luar negeri. Namun, karena ia sangat bersemangat untuk menjaga kesenian tradisional tetap asli dan hidup, sehingga tidak menghasilkan lukisan berkualitas rendah setiap beberapa minggu hanya untuk dijual kepada kolektor. Bahkan, terkadang ia membutuhkan waktu 12 hingga 18 bulan hanya untuk menyelesaikan satu lukisan. Hal inilah yang menyebabkan harga lukisan yang dijualnya juga selangit rata-rata dari mulai $35 sampai $1.650 atau sekitar Rp525 ribu sampai Rp25 juta. Disadari seni lukisan gaya Keliki ini, memiliki karakter serta sifat-sifat tertentu yang bertalian dengan ide, tema, wujud visual yang memberikan kesan khas pada karya seni lukis yang bersangkutan, dan didukung oleh teknik tertentu yang khas pula, sehingga bisa disebut gaya seni tertentu. Apalagi sebelumnya, seni lukis gaya Keliki diciptakan sebagai produk budaya populer yang diproduksi secara masal untuk memenuhi pesanan, sehingga muatan estetika yang ada di dalamnya mengikuti selera pasar pariwisata. Pesanan dari wisatawan sangat dibutuhkan, karena memiliki potensi menghasilkan pendapatan untuk menopang kebutuhan hidup. Sementara itu, di sisi lainnya para pelukis menjadi sangat ketergantungan dengan wisatawan, dan mau mengerjakan apa saja yang menjadi kebutuhan pasar, sehingga lahirlah produksi masal sebagai cermin budaya populer.
Ia mengakui lukisan dengan gaya Keliki ini, merupakan gambaran akan kehidupan masyarakat tradisional Bali, seperti bertani, melakukan ritual keagamaan, hingga keindahan pemandangan alam menjadi bahannya dalam berkreasi. Namun dari segi corak lukisan, sebenarnya style Keliki ini mengadopsi corak Ubud dan Batuan Sukawati. “Tamu yang membeli lukisan di sini kebanyakan dari America dan England (Inggris). Lukisan yang paling laku dan disukai tamu itu, biasanya lukisan pemandangan alam,” jelasnya. Namun sayangnya, selama ini hanya turis yang datang berkunjung ke desanya yang mengenal lukisannya. Itu pun jarang ada yang membeli. “Kami susah memberikan harga lukisan, karena untuk menjadi sebuah lukisan perlu waktu beberapa hari, bahkan beberapa bulan. Apalagi itu merupakan karya seni yang perlu mood untuk mengerjakannya,” ungkapnya. Namun sebagai seorang seniman, tetap merasa tergerak untuk membangkitkan kampung seni lukisan klasik Keliki ini. Karena itulah, ia memutar otak dengan mencoba merintis bisnis pariwisata, dengan membuka painting class and lunch di Bali Nature Treks and Art yang berlokasi di Griya Dangin yang juga tempat tinggalnya. Dengan modal nekat ia menjadi seorang pemandu tur di Bali Nature Treks and Art, sekaligus memperkenalkan tradisi melukis pada anak-anak dan generasi muda, termasuk para tamu yang berkunjung. Namun untuk menjalankan usaha tentu harus diimbangi dengan modal yang cukup, sehingga akhirnya mulai berpikir untuk mengajukan bantuan permodalan dengan kategori usaha mikro kecil menengah atau UMKM. Memasuki tahun 2024, ia bersama putranya, Ida Bagus Putu Indrawan alias Gus Tu mengajukan pinjaman yang sejalan dengan program Pemerintah yang mendorong perbankan untuk ikut andil menggerakkan UMKM, salah satunya melalui program kredit usaha rakyat (KUR) dari Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk., atau BRI sebesar Rp50 juta.
Pertimbangannya mengajukan KUR tersebut, selain sudah menjadi nasabah BRI, juga karena kemudahan akses ke kantor cabang BRI yang banyak dan tingkat suku bunga yang bersaing. “Ya, saya pinjam modal untuk mewujudkan mimpi dari usaha ini. Proses mudah, suku bunganya juga rendah,” ujarnya. Ia pun mulai menggunakan dana itu untuk membangun kawasan yang dilengkapi dengan pelatihan melukis, tempat melukat (pembersihan diri), makan siang sampai arena perjalanan wisata yang menyenangkan. “Jadinya sekarang saya seorang seniman lukis dan juga pemandu wisata. Saya memimpin jalan-jalan di sawah dan tanaman herbal dari Desa Sakti dekat Ubud, ke Desa Keliki,” jelasnya, seraya memimpin tur jalan kaki melintasi sawah, pedesaan, perkebunan rempah-rempah, dan hutan tropis. Perjalanan sambil berwisata sejauh 7 kilometer itu, biasanya dimulai dari Desa Sakti di wilayah Ubud, dan berakhir di Desa Keliki. Perjalanan ini, rata-rata memakan waktu sekitar 2 hingga 3 jam, namun perjalanan yang lebih pendek juga dimungkinkan. Sepanjang perjalanan, ia akan menjelaskan tentang budidaya padi di Bali, sistem irigasi subak dan juga tentang tanaman obat. Di akhir perjalanan, para tamu akan diajak ke rumahnya di Griya Dangin, sehingga mereka bisa melihat langsung seperti apa kompleks dan rumah keluarga tradisional Bali. “Istri saya juga akan memasak makanan asli Bali untuk para tamu,” imbuhnya. Selain wisata alam dan belajar melukis gaya Keliki, Bali Nature Treks and Art juga dapat menawarkan kelas memasak tradisional Bali bersama istrinya, Sang Ayu Made Sukri, atau pun layanan tur bersepeda dengan menuruni bukit melalui jalan belakang dan pedesaan ke Desa Keliki. “Tiyang juga seorang keturunan Brahmana (pendeta, red) di desa dan kadang-kadang saya diminta untuk melakukan upacara di desa, seperti potong gigi dan acara-acara besar umat Hindu. Karena saya berasal dari kasta Brahman (atau kasta pendeta dan tabib), saya juga belajar tentang tanaman obat dan herbal dari kakek saya. Jadi jika ada yang berencana mengunjungi Desa Keliki, saya akan dengan sepenuh hati menjadi pemandu perjalanan wisata seni budaya dan alam di sini,” pungkasnya.
Pengalaman berwisata seni budaya dan alam di Bali menjadi sangat nyata, sehingga menjadi hari yang sangat luar biasa. Itulah yang dialami oleh Dorking, nama beken tamu asing dari UK, Inggris. Bersama pasangan hidupnya sengaja berlibur ke Bali dan bertemu dengan Gus Dharma saat berada di hotel kawasan Ubud, Gianyar. Selama seharian ia memilih diajak untuk menikmati suasana di pedesaan Bali dengan berkendara ke Desa Keliki. Setelah tiba di perkampungan seniman itu, ia pun melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki yang dimulai dari persawahan. Di sana mereka berdua belajar tentang berbagai jenis beras dan sistem irigasi dan bertemu dengan tetangga Gus Dharma yang sangat ramah. Kemudian dilanjutkan dengan pergi ke hutan tropis dapat belajar tentang berbagai binatang dan tumbuhan. Setelah perjalanan yang menyenangkan itu, juga sempat berkunjung ke rumah atau griya Gus Dharma, di mana istrinya telah menyiapkan beberapa masakan rumah yang sangat sehat dan alami untuk jamuan makan siang. “Makanan segar yang indah dan rasa lokal. Ida (Gus Dharma, red) juga menunjukkan kepada kita karya seninya di atas cangkir teh jahe. Segar dan menyegarkan setelah kami kemudian mengunjungi kuil dan kolam suci (beji tempat melukat, red) di mana kami memberikan persembahan dan menerima berkah,” kata Dorking. Setelah itu, ia kemudian kembali ke hotel untuk beristirahat, sekaligus merenungkan pengalaman yang luar biasa yang dialaminya tersebut. “Tur ini sangat direkomendasikan bagi siapa saja yang ingin merasakan Bali asli, jauh dari keramaian dan kesibukan lalu lintas yang sibuk dari lokasi wisata,” tandasnya. Hal senada juga diungkapkan oleh Jeff S seorang turis asal Thailand itu, bersama keluarganya juga merasakan perjalanan yang hebat dengan panduan Gus Dharma. Mereka bisa menikmati perjalanan melalui sawah dan tebing jurang antara desa. “Makan siang khas Bali, walaupun sedikit di pagi hari. Juga membawa kami ke perkebunan kopi yang sangat baik dipandang. Perjalanan yang sangat menyenangkan, dan dipandu dengan guide profesional. Ini pengalaman yang sangat luar biasa,” terangnya.
Dari cerita inspiratif tersebut, kini mimpi Bali Nature Treks and Art sudah mampu terwujud dan mengembangkan usahanya dengan memanfaatkan pinjaman KUR dari BRI. Apalagi selain memberikan pinjaman, BRI juga terus melakukan pendampingan terkait perkembangan usaha dari nasabah tersebut. Pendampingan itu, meliputi edukasi, pelatihan dan networking para pelaku usaha. Seperti dikatakan Pemimpin Cabang BRI Gianyar, Kadek Arik Sundra Dewi menegaskan, BRI merupakan bank yang paling banyak menyalurkan KUR kepada para debitur di seluruh Indonesia. Selain menyalurkan kredit, BRI juga memberikan pembinaan kepada para nasabahnya, seperti Bali Nature Treks and Art. Pembinaan yang dilakukan sebagai upaya agar para debitur dapat lebih mengembangkan usahanya. Selain itu, terdapat berbagai pilihan tenor atau jangka waktu pinjaman yang dapat disesuaikan dengan kemampuan dan jenis usaha peminjam. Tenor maksimal untuk pembiayaan modal kerja selama 3 tahun, sementara untuk pembiayaan investasi selama 5 tahun. Dengan demikian, KUR BRI tahun 2024 telah memberikan solusi finansial yang dapat mendukung pertumbuhan dan pengembangan usaha dengan angsuran bulanan yang mudah dibayar, jangka waktu hingga 5 Tahun, dan suku bunga yang bersaing. “Jadi jangan lagi sia-siakan kesempatan ini, untuk melangkah lebih jauh dalam mengembangkan usaha,” sebutnya. Komitmen BRI membantu perkembangan UMKM tergambar jelas dari catatan pertumbuhan kredit di sektor tersebut, pada kuartal I-2023 yang telah tersalurkan mencapai Rp989,6 triliun. UMKM pun menjadi pendorong kinerja positif BRI. Dikutif dari laman resmi BRI menargetkan KUR tercapai 85% pada kuartal I tahun 2024. “Dengan demikian porsi kredit UMKM BRI telah mencapai 83,86%. Nilai tersebut meningkat dibandingkan periode yang sama tahun lalu, sebesar Rp903,3 triliun,” ungkap Direktur Bisnis Kecil dan Menengah BRI Amam Sukriyanto. Total kredit BRI hingga kuartal I-2023 telah mencapai Rp1.180,1 triliun, naik dari total portofolio kredit BRI pada kurun waktu sama tahun lalu sebesar Rp1.075,9 triliun.
Rinciannya, pertumbuhan kredit BRI disokong oleh segmen mikro dengan pertumbuhan mencapai 11,18% yoy. Pertumbuhan di segmen UMKM diikuti dengan pertumbuhan laba secara konsolidasian (BRI Group) sebesar 27,37% year on year (yoy) menjadi Rp15,56 triliun. Adapun asset BRI Group tumbuh 10,46% yoy menjadi Rp1.822,97 triliun. Amam mengatakan kinerja positif BRI tidak terlepas dari pertumbuhan penyaluran kredit UMKM. Dalam penyaluran kredit UMKM, perseroan mengedepankan pemberdayaan yang secara langsung membantu dan mendorong peningkatan kapabilitas pelaku usaha. “Kami optimistis kinerja perseroan akan lebih baik di tahun 2024 ini dengan kredit yang diproyeksikan akan tumbuh,” ungkap Amam. ama/ksm