Mantan Pj Bupati Buleleng Bantah Tuduhan Korupsi, Lihadnyana: Itu Hoax!

Denpasar, PancarPOS | Tuduhan korupsi yang menyeret nama mantan penjabat (Pj) Bupati Buleleng, Ketut Lihadnyana, semakin memanas. Setelah laporan dari LSM Aliansi Buleleng Jaya (ABJ) masuk ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Lihadnyana langsung angkat bicara. Dengan tegas, ia membantah seluruh tuduhan tersebut.
“Itu HOAX,” ujar Lihadnyana singkat namun penuh tekanan saat menghubungi PancarPOS.com, Rabu pagi (5/2/2025). Jawaban itu mengesankan bahwa ia sama sekali tidak gentar dengan laporan yang mengaitkan namanya dalam dugaan penyimpangan dana hibah di Pemkab Buleleng.
Namun, di balik pernyataan tegasnya, publik bertanya-tanya: Apakah ini hanya manuver politik, atau memang ada kebenaran yang berusaha ditutupi?

Laporan ke KPK dan Dugaan Korupsi Rp135,55 Miliar
Laporan yang diajukan LSM ABJ dalam surat bernomor 001/ABJ/III/2025 bertanggal 4 Maret 2025 ini menyoroti tiga kasus besar dugaan penyimpangan anggaran yang diklaim merugikan negara hingga Rp135,55 miliar. Fokus utama laporan ini adalah pemberian hibah kepada aparat penegak hukum (APH) seperti Kejaksaan Tinggi (Kejati) Bali dan Polres Buleleng, yang menurut LSM ABJ, tidak seharusnya menerima hibah dari pemerintah daerah.
Menariknya, dugaan penyimpangan ini bukan hanya terjadi di era kepemimpinan Lihadnyana sebagai Pj Bupati Buleleng, tetapi juga sejak masa Bupati Buleleng sebelumnya, Putu Agus Suradnyana. Artinya, ada indikasi bahwa ini bukan kasus yang muncul tiba-tiba, melainkan masalah yang sudah mengakar dalam pemerintahan daerah.
Dalam laporannya, LSM ABJ juga menyoroti ketimpangan penggunaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Salah satu poin yang mencuri perhatian adalah kebijakan Pemkab Buleleng yang mengklaim tidak memiliki anggaran untuk membayar iuran 50.000 Kartu Indonesia Sehat (KIS) bagi rakyat miskin hingga akhirnya terblokir. Namun, di saat yang sama, dana hibah justru mengalir deras ke APH.

“Ini jelas melukai hati rakyat. Di satu sisi, mereka mengatakan anggaran tidak cukup untuk membantu masyarakat miskin. Tapi di sisi lain, ada hibah untuk lembaga yang seharusnya tidak menjadi prioritas dalam alokasi APBD,” ungkap Ketua LSM ABJ, Drs. Ketut Yasa.
Sejarah Panjang Kasus Korupsi di Buleleng
Kasus ini semakin menarik karena bukan pertama kalinya Buleleng diguncang skandal korupsi besar. Sebelumnya, mantan Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) Buleleng, Fahrul Rozy, terbukti melakukan tindak pidana korupsi sebesar Rp24 miliar. Begitu pula dengan mantan Sekda Buleleng, Dewa Ketut Puspaka, yang terseret dalam kasus perizinan dengan kerugian negara mencapai Rp16 miliar.
Dengan sejarah kelam tersebut, LSM ABJ menilai bahwa Buleleng sedang berada dalam fase “darurat korupsi.” Mereka berharap KPK segera turun tangan agar kasus ini tidak hanya menjadi isu yang meredup seiring waktu, melainkan bisa dibongkar secara tuntas.
“Kami berharap KPK bisa segera mengusut kasus ini. Jangan sampai praktik-praktik seperti ini terus berulang dan merugikan rakyat,” tulis LSM ABJ dalam laporannya.
Lihadnyana Tetap Percaya Diri, Masyarakat Menunggu Kejelasan
Di tengah panasnya isu ini, Ketut Lihadnyana tampak tetap percaya diri. Sebagai Kepala BKD Provinsi Bali saat ini, ia tampaknya tidak terganggu oleh laporan tersebut. Namun, pernyataan singkatnya yang hanya menyebut “hoax” tanpa penjelasan lebih lanjut justru menimbulkan lebih banyak pertanyaan.

Apakah ini hanya fitnah politik? Atau ada sesuatu yang memang perlu diusut lebih dalam?
Hingga berita ini diturunkan, baik Lihadnyana maupun mantan Bupati Buleleng, Putu Agus Suradnyana, belum memberikan klarifikasi lebih rinci. Masyarakat kini menunggu langkah KPK—akankah ini menjadi babak baru dalam perang melawan korupsi di Buleleng, atau justru hanya menjadi drama politik yang akhirnya menguap begitu saja?
Yang jelas, mata publik kini tertuju pada langkah selanjutnya. Jika laporan LSM ABJ benar, maka ini bisa menjadi skandal terbesar yang mengguncang Bali dalam beberapa tahun terakhir. Namun, jika tuduhan ini tidak terbukti, maka reputasi mereka yang menuding bisa dipertanyakan.
Kebenaran kini berada di tangan para penegak hukum. Akankah KPK bergerak cepat, atau justru kasus ini akan terkubur dalam birokrasi yang rumit? Waktu yang akan menjawab. ama/ksm
