Gegara Bantuan Be Celeng Rp2 juta, Kaling se-Badung “Stres”

Badung, PancarPOS | Kebijakan bantuan hari raya sebesar Rp2 juta yang awal rencana untuk membantu pembelian be celeng atau babi dari Pemerintah Kabupaten Badung yang seharusnya menjadi angin segar bagi warga kurang mampu justru memicu kebingungan di tingkat kepala lingkungan (Kaling). Para Kaling se-Badung kini “inguh” alias stres atau pusing tujuh keliling lantaran aturan penerimaan bantuan tidak berlaku untuk semua warga yang memiliki kartu keluarga (KK) Badung.
Seorang Kaling di Kuta Selatan, yang enggan disebutkan namanya, mengungkapkan bahwa grup komunikasi para Kaling kini riuh oleh keluhan dan diskusi sengit soal kebijakan ini. “Nu uyut di grup, karena suratnya tidak semua warga ber-KK Badung dapat. Engken kaden kal ne Kalinge bingung baane ane cen baang, ane cen sing baang,” ujarnya. Artinya, banyak Kaling kebingungan menentukan siapa yang berhak dan siapa yang tidak mendapat bantuan, karena aturan yang ada menimbulkan kebimbangan di lapangan.

Kebijakan yang mulai diterapkan tahun 2025 ini bertujuan membantu warga kurang mampu merayakan hari raya dengan lebih layak. Bantuan diberikan menjelang Hari Raya Galungan, Idul Fitri, Natal, Waisak, dan Imlek, sebagai bentuk dukungan pemerintah terhadap keberagaman agama dan tradisi di Badung. Di sisi lain, Sekda Badung, Ida Bagus Surya Suamba, menegaskan bahwa kebijakan ini dirancang dengan pertimbangan matang agar tepat sasaran.
“Kami ingin memastikan bahwa bantuan ini benar-benar diterima oleh mereka yang membutuhkan, bukan mereka yang mampu,” katanya dalam sebuah pernyataan resmi. Namun, di lapangan, realitas tak semudah yang dibayangkan. Para Kaling dihadapkan pada dilema besar. Mereka yang tidak masuk dalam daftar penerima mulai mempertanyakan keputusan ini. Sejumlah warga yang mengaku kesulitan ekonomi justru tak memenuhi kriteria, sementara ada yang merasa lebih mampu tapi tetap terdaftar dalam Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS).

“Kami hanya menjalankan aturan, tapi saat warga bertanya kenapa dia tidak dapat, sementara tetangganya yang sama-sama susah dapat, kami yang disalahkan,” keluhnya. Penerima bantuan ini harus memenuhi sejumlah persyaratan ketat:
- Berstatus sebagai warga Kabupaten Badung dan menetap minimal lima tahun.
- Berpenghasilan maksimal Rp5 juta per bulan.
- Tidak berstatus ASN, TNI, Polri, atau pensiunan dari profesi tersebut.
- Memiliki tanggungan minimal satu anggota keluarga dalam KK.
- Terdaftar dalam DTKS atau masuk kategori rentan miskin.
Pendataan penerima harus diselesaikan dalam waktu singkat, yaitu hingga 10 Maret 2025 di tingkat dusun/lingkungan, 14 Maret 2025 di tingkat desa/kelurahan, dan hasil akhirnya wajib diterima Dinas Sosial Kabupaten Badung paling lambat 18 Maret 2025. Bantuan akan disalurkan secara non-tunai melalui rekening Bank Pembangunan Daerah Bali. Oleh karena itu, penerima wajib menyerahkan fotokopi KTP dan KK untuk pembukaan rekening.
Meski tampak sistematis di atas kertas, di lapangan justru muncul banyak pertanyaan. Bagaimana dengan warga yang baru menetap empat tahun dan sangat membutuhkan bantuan? Bagaimana dengan mereka yang berpenghasilan sedikit di atas Rp5 juta tetapi harus menghidupi banyak anggota keluarga? Seorang ibu rumah tangga di Abiansemal, yang suaminya hanya bekerja serabutan dengan pendapatan tidak menentu, mengaku sedih karena keluarganya dikabarkan tidak masuk dalam daftar penerima bantuan.

“Kadang sebulan bisa Rp6 juta, tapi kalau lagi sepi, paling Rp3 juta. Tapi tetap gak masuk kriteria. Padahal kami juga susah,” keluhnya. Di sisi lain, ada juga warga yang merasa bahwa bantuan ini bisa menimbulkan kecemburuan sosial. “Saya senang pemerintah membantu warga yang kurang mampu, tapi semoga kriterianya diperjelas. Jangan sampai bantuan ini malah memicu perpecahan di masyarakat,” ujar seorang tokoh adat di Mengwi.
Di tengah polemik yang semakin memanas, banyak pihak berharap pemerintah turun tangan lebih aktif untuk memberikan kejelasan. Jika tidak, para Kaling dan aparat desa yang justru akan menjadi sasaran amarah warga. “Harus ada mekanisme banding atau verifikasi ulang, agar bantuan ini benar-benar adil dan tidak menimbulkan masalah baru,” ujarnya.
Pemerintah Kabupaten Badung sendiri belum mengeluarkan pernyataan terkait keresahan para Kaling dan warga yang merasa tidak mendapat keadilan. Apakah ada kemungkinan perubahan kebijakan atau setidaknya penyesuaian mekanisme? Yang jelas, waktu terus berjalan. Jika tidak segera diselesaikan, kebijakan yang awalnya bertujuan membantu justru bisa menjadi sumber kegaduhan sosial. ama/ksm
