Eksekusi Penodaan Nyepi Dituding Arogan, Organisasi Hindu: Negara Tak Boleh Kalah!

Buleleng, PancarPOS | Kejaksaan Negeri Singaraja tengah menjadi sorotan setelah mengambil langkah tegas dengan mengeksekusi dua terpidana kasus penodaan hari suci Nyepi tahun 2023 di Desa Sumberkelampok, Buleleng. Namun, bukan sekadar polemik biasa. Tindakan eksekusi paksa ini justru memunculkan ancaman pelaporan Kejaksaan ke pemerintah pusat oleh sebuah majelis agama, yang menuding bahwa tindakan itu bersifat arogan dan semena-mena.
Di sisi lain, gelombang dukungan datang dari berbagai organisasi kemasyarakatan, tokoh hukum, hingga aktivis di Bali. Mereka menegaskan bahwa tindakan Kejaksaan bukanlah bentuk arogansi, melainkan langkah yang terukur dan konstitusional. Bahkan, mereka menilai Kejaksaan telah menunjukkan toleransi maksimal sebelum akhirnya menjalankan eksekusi secara paksa.
“Langkah eksekusi itu bukan langsung dilakukan begitu saja. Sudah ada tiga kali pemanggilan resmi terhadap kedua terpidana, namun tidak pernah diindahkan. Setelah itu pun, masih dilakukan pendekatan persuasif sebelum akhirnya tim Kejaksaan menjemput langsung,” ujar Ketua Tim Hukum Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Provinsi Bali, Putu Wirata Dwikora, didampingi Sekretaris I Wayan Sukayasa, ST, SH, M.I.Kom.
Eksekusi ini dilaksanakan oleh tim eksekutor Kejaksaan Negeri (Kejari) Buleleng pada Senin dini hari, 14 April 2025, pukul 03.30 Wita. Dua terpidana, yakni Ahmad Zaini dan Muhammad Rasad, dijemput dari rumah masing-masing di Desa Sumberkelampok, Kabupaten Buleleng, dan langsung dibawa ke Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kelas II B Singaraja untuk menjalani hukuman empat bulan penjara, sesuai dengan putusan kasasi Mahkamah Agung Republik Indonesia yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht).
“Tim eksekutor dari Kejari Buleleng. Proses eksekusi sudah dilaksanakan dan dalam keadaan aman,” ujar Kasi Penkum Kejati Bali, Putu Eka Sabana, saat dikonfirmasi oleh media, Senin (22/4/2025).
Namun, bukannya mendapat dukungan menyeluruh, langkah tegas ini malah diserang oleh beberapa elemen ormas tertentu yang menyampaikan niat untuk melaporkan Kejaksaan ke pemerintah pusat. Tuduhan bahwa Kejaksaan bersikap arogan kemudian dibantah keras oleh berbagai kelompok masyarakat Bali.
Putu Wirata menjelaskan, pihaknya bersama sejumlah organisasi kemasyarakatan, aktivis, akademisi, pemuda, dan advokat telah dua kali melakukan audiensi ke Kejaksaan Negeri Singaraja untuk menyampaikan harapan masyarakat agar putusan MA dilaksanakan secara tegas. “Kami tidak ingin muncul persepsi bahwa negara kalah oleh terpidana,” tegasnya.
Ia juga menyampaikan bahwa masyarakat mengetahui jelas bahwa panggilan Kejaksaan terhadap dua terpidana itu tidak pernah dipenuhi hingga panggilan ketiga. Bahkan, menurutnya, telah muncul sejumlah baliho yang berisi pernyataan menolak eksekusi di kawasan tersebut, seperti yang terpantau dari berbagai pemberitaan media.
“Eksekusi dengan menjemput langsung para terpidana dilakukan setelah upaya persuasif tidak berhasil dan panggilan sebanyak tiga kali tidak diindahkan. Itu adalah langkah terukur yang justru menunjukkan penghormatan pada prinsip negara hukum,” tegas Wayan Sukayasa.
Dukungan terhadap Kejaksaan juga disuarakan oleh organisasi Prajaniti Bali melalui pernyataan sikap tertanggal 23 April 2025, yang ditandatangani oleh Ketua Dr. Wayan Sayoga dan Sekretaris Made Dwija Suwastana, SH, MH. Dalam pernyataannya, Prajaniti menyampaikan bahwa pelaksanaan eksekusi adalah kewajiban aparat penegak hukum untuk memastikan hukum tidak hanya berhenti di atas kertas, melainkan benar-benar dilaksanakan di lapangan.
“Kejaksaan tidak perlu gentar atas sikap tegasnya. Justru sikap itulah yang diperlukan saat ini untuk menjaga peradaban Bali. Jika kita membiarkan hukum diabaikan, maka Bali akan hancur oleh perilaku oknum-oknum yang tidak menghargai budaya,” demikian bunyi pernyataan Prajaniti.
Dukungan lain datang dari Kantor Hukum GEDE HARJA & ASSOCIATE melalui pernyataan tertanggal 24 April 2025 yang ditandatangani langsung oleh Gede Dimas Bayu Hardi Raharja, SH, MH. Kantor hukum ini menilai bahwa tindakan Kejaksaan sepenuhnya sudah sesuai prosedur hukum dan tidak ada pelanggaran dalam pelaksanaannya.
Forum Peduli Bali Santhi pun turut memberikan apresiasi saat eksekusi dilakukan. Mereka menilai bahwa langkah Kejaksaan justru mencerminkan keberanian dan konsistensi dalam menjalankan fungsi negara hukum.
Langkah Kejaksaan dalam eksekusi kasus penistaan hari suci Nyepi ini juga dinilai penting sebagai pembelajaran publik bahwa hukum tetap berjalan meskipun berhadapan dengan kelompok-kelompok yang mencoba mempolitisasi kasus.
“Jika negara tunduk karena tekanan, maka kepercayaan masyarakat terhadap sistem hukum bisa runtuh. Hukum tidak boleh tumpul ke atas dan tajam ke bawah. Semua harus tunduk pada hukum yang berlaku,” kata Wayan Sukayasa lagi.
Masyarakat Bali, melalui berbagai representasi organisasinya, kembali menegaskan komitmen menjaga marwah hukum dan budaya. Mereka menolak segala bentuk pembiaran terhadap pelanggaran hukum yang menyangkut nilai-nilai adat dan keagamaan, apalagi terhadap hari suci Nyepi yang merupakan bagian sakral dalam peradaban Hindu Bali.
Eksekusi ini bukan hanya perkara melaksanakan putusan pengadilan, tapi juga menjadi simbol bahwa negara hadir dalam menjaga keadilan, martabat hukum, dan budaya Bali. ora/ama
