Penolakan Rekomendasi Distributor Mikol oleh PTSP Bali, Ada Apa di Balik Kebijakan Ini?

Denpasar, PancarPOS | Permasalahan penolakan rekomendasi distributor minuman beralkohol (Mikol) oleh Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) Bali semakin memunculkan tanda tanya di kalangan pengusaha lokal. Meskipun telah memenuhi semua persyaratan administrasi yang ditetapkan oleh pihak Kabupaten/Kota, beberapa pengusaha lokal yang ingin bergabung dalam bisnis distribusi Mikol di Bali mengaku tidak mendapatkan rekomendasi yang dibutuhkan untuk melanjutkan proses perizinan mereka.

Fenomena ini tidak hanya menciptakan kebingungan di kalangan pengusaha, tetapi juga menimbulkan pertanyaan mengenai kemungkinan adanya penyalahgunaan wewenang dalam prosedur pengurusan izin di PTSP Bali. Hal ini mendapat perhatian dari berbagai kalangan, termasuk akademisi yang mengamati fenomena ini dari perspektif hukum dan administrasi publik.
Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) adalah sebuah lembaga yang bertugas untuk mempermudah proses perizinan dengan menggabungkan berbagai layanan administratif dalam satu tempat. Sesuai dengan Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, PTSP memiliki wewenang untuk mengelola izin dan non-izin yang diajukan oleh pengusaha, termasuk izin distribusi minuman beralkohol.

Namun, beberapa pengusaha lokal di Bali merasa dirugikan, meskipun mereka telah memenuhi seluruh persyaratan yang diminta, mereka tetap tidak mendapatkan rekomendasi yang diperlukan. Dalam beberapa kasus, pengusaha ini mendapatkan penolakan yang tidak disertai dengan alasan atau regulasi yang jelas. “Kami sudah melengkapi semua dokumen yang diminta oleh pihak Kabupaten dan Kota, tetapi rekomendasi yang seharusnya diterbitkan oleh PTSP malah tidak keluar,” ujar salah satu pengusaha lokal yang enggan disebutkan namanya.
Penolakan yang terjadi ini tentu menimbulkan keraguan terkait legalitas dan transparansi pengambilan keputusan di PTSP. Berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres) No. 74 Tahun 2013, PTSP sebenarnya tidak berhak menolak rekomendasi apabila semua persyaratan yang diajukan oleh pengusaha sudah lengkap dan sesuai dengan regulasi yang berlaku.

Dalam hal ini, Perpres 74 Tahun 2013 menjelaskan bahwa PTSP bertanggung jawab untuk mengeluarkan rekomendasi bagi pengusaha yang ingin mendistribusikan Mikol, asalkan mereka telah memenuhi seluruh persyaratan yang diatur oleh Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota terkait pengawasan, pengendalian, dan penataan peredaran minuman beralkohol. Dengan demikian, pengusaha yang sudah memenuhi persyaratan tidak seharusnya mengalami kesulitan dalam memperoleh rekomendasi dari PTSP.
Terkait penolakan ini, Martua Wandalibrata, S.Psi., M.Phil., M.PdH., dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) di salah satu kampus swasta di Bali, berpendapat bahwa tindakan ini sangat merugikan pengusaha, terutama pengusaha lokal Bali yang ingin berkembang di sektor distribusi Mikol. “Bahasa penolakan yang digunakan oleh PTSP sangat rancu dan tidak jelas. Kami melihat adanya ketidakpastian dalam prosedur yang dijalankan,” ujar Martua.

Martua menambahkan bahwa hal ini juga menjadi isu penting dalam konteks keberpihakan kepada pengusaha lokal Bali yang sering kali kesulitan bersaing dengan distributor besar atau luar daerah. “Apalagi pengusaha lokal Bali yang sudah memenuhi segala persyaratan dan berusaha memberikan kontribusi dalam perekonomian Bali, tetapi tidak diberikan kesempatan berusaha oleh PTSP. Ini sangat merugikan mereka,” tambahnya.
Lalu, apakah tindakan PTSP yang menolak rekomendasi tanpa alasan jelas ini bisa dikategorikan sebagai penyalahgunaan wewenang? Menurut Martua, ada kemungkinan bahwa tindakan PTSP ini bisa dikategorikan sebagai maladministrasi, atau penyalahgunaan wewenang. Dalam hal ini, Ombudsman bisa menjadi saluran bagi pengusaha yang merasa dirugikan untuk melaporkan proses administrasi yang tidak transparan atau tidak sesuai dengan regulasi yang ada.

“Ombudsman adalah lembaga yang bertugas mengawasi praktik administrasi publik. Jika ada dugaan maladministrasi atau ketidakpatuhan terhadap peraturan yang berlaku, pengusaha berhak melaporkan hal ini kepada Ombudsman. Laporan tersebut akan ditindaklanjuti dan dievaluasi apakah ada kesalahan prosedural atau maladministrasi yang dilakukan oleh PTSP,” jelas Martua.
Tentu saja, laporan ke Ombudsman akan melibatkan proses pemeriksaan lebih lanjut untuk memastikan apakah tindakan PTSP benar-benar menyimpang dari aturan yang ada. Namun, bagi pengusaha yang merasa dirugikan, ini bisa menjadi langkah yang penting untuk menuntut keadilan dan transparansi dalam pelayanan publik.
Penting untuk dicermati juga apa yang mendasari tindakan PTSP dalam menolak pengajuan rekomendasi tersebut. Beberapa pihak mulai bertanya-tanya apakah ada motif tertentu di balik penolakan yang tidak berbasis pada regulasi yang jelas. Apakah ada kepentingan tertentu yang mempengaruhi kebijakan PTSP dalam memilih pengusaha yang boleh mendapatkan rekomendasi, ataukah ada faktor lain yang belum terungkap?
Martua menambahkan, “Jika tindakan PTSP ini memang melibatkan kepentingan tertentu, maka harus ada transparansi dalam pengambilan keputusan. Pengusaha Bali berhak mendapatkan kesempatan yang sama untuk berkompetisi di industri ini, tanpa ada pembatasan yang tidak adil.”
Selain itu, jika memang ada kepentingan lain yang memengaruhi keputusan PTSP, hal ini perlu diselidiki secara lebih mendalam untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan wewenang yang dapat merugikan banyak pihak, terutama pengusaha lokal yang sedang berjuang untuk mengembangkan usaha mereka.
Bagi pengusaha lokal Bali, tantangan ini menjadi semakin besar. Di tengah upaya untuk mendukung ekonomi Bali dan membuka peluang usaha baru, mereka sering kali harus menghadapi birokrasi yang rumit dan terkadang tidak jelas. Sementara itu, pengusaha luar Bali yang memiliki sumber daya lebih besar dan akses yang lebih mudah ke jalur-jalur birokrasi seolah mendapat prioritas dalam proses perizinan.

Dengan adanya kasus ini, Martua berharap agar pemerintah dan instansi terkait dapat lebih mengutamakan transparansi dan keadilan dalam menjalankan tugas mereka. “Ini adalah kesempatan bagi pemerintah untuk menunjukkan komitmennya dalam memberikan dukungan kepada pengusaha lokal Bali, bukan malah menutup kesempatan mereka untuk berkembang,” ujar Martua.
Masalah penolakan rekomendasi oleh PTSP Bali ini menyisakan banyak pertanyaan dan ketidakpastian bagi pengusaha lokal Bali yang berusaha mengembangkan bisnis mereka. Jika penolakan tersebut memang tidak didasari oleh regulasi yang jelas, maka pengusaha berhak untuk mempertanyakan dan melaporkan hal ini kepada lembaga yang berwenang, seperti Ombudsman.
Penting bagi pemerintah dan PTSP Bali untuk memastikan bahwa setiap keputusan yang diambil dalam proses perizinan bersifat transparan, akuntabel, dan adil bagi semua pihak. Pengusaha lokal Bali, yang menjadi tulang punggung perekonomian daerah, berhak mendapatkan kesempatan yang sama untuk berkembang dan berkompetisi di industri yang sudah diatur oleh peraturan yang ada. ama/ksm
