KUR BRI Siap Manjakan UMKM Naik Kelas, Dari Hobi Koleksi Bonsai Bisa Untung Ratusan Juta Rupiah
Tabanan, PancarPOS | Jalan Raya Canggu, Kuta Utara, Kabupaten Badung, Bali, kembali macet seperti biasanya. Kendaraan tampak terus mengular dari arah daerah Kerobokan, Kuta Utara, Badung menuju daerah wisata Pura Tanah Lot, Kecamatan Kediri, Tabanan. Deru mesin kendaraan, baik roda dua maupun roda empat bersahutan yang makin parah dengan banyaknya polusi udara. Namun pemandangan berbeda disuguhkan, saat mulai memasuki Desa Pandak Gede, Kecamatan Kediri, Tabanan yang awalnya membuat pengendara penat, namun kini ada pemandangan yang sedikit menyejukkan mata dengan keberadaan pedagang tanaman hias. Daerah persawahan itu, kini menjadi salah satu sentra bagi pecinta tanaman hias. Lokasinya hanya sekitar 17 km dari Kota Denpasar atau 9,5 km dari Kota Tabanan. Sepanjang jalan itu, sejumlah pedagang tanaman hias memajang berbagai jenis tanaman, termasuk Bonsai. Mungkin sudah tidak asing lagi dengan tanaman bonsai, bukan? Tanaman hias bernilai seni tinggi yang berasal Negeri Sakura ini, ternyata memiliki peluang bisnis yang sangat bagus, karena banyak diminati oleh masyarakat di seluruh Indonesia, baik untuk dibudidayakan maupun dikoleksi di rumah. Meski harganya selangit, peminat bonsai rela merogoh kocek yang dalam demi meminang bonsai favorit mereka, sehingga para penggelut bisnis bonsai yang paling diuntungkan.
Salah satunya, I Gede Bagus Dedi Sanjaya, seorang pebonsai asal Desa Baluk, Kecamatan Negara, Jembrana yang datang sekitar 4 tahun lalu, atau tepatnya di awal masa pandemi Covid-19 ikut mewujudkan wilayah Desa Pandak Gede menjadi salah satu sentra tanaman hias. Ia bahkan sudah membuktikan dengan mengawali bisnis pembibitan dan pembuatan bonsai di rumahnya sendiri di Desa Baluk. Dari keisengannya itu, ia memulai hobinya dengan membuat grounding atau penanaman di tanah untuk memproduksi bakalan bonsai, hingga jumlahnya sudah ribuan karena terus dikumpulkan. Nah, ketika memiliki modal yang cukup, akhirnya dari tahun 2020 semua bonsai yang dirawatnya bisa dipasarkan dengan membuka stand bonsai yang diberi nama Pondok Desa Bonsai yang berlokasi di Jalan Raya Tanah Lot, Desa Pandak Gede, Kecamatan Kediri, Tabanan. Sebenarnya, selain memiliki tekad berbisnis yang kuat sebagai salah satu pelaku usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM), juga harus didukung oleh permodalan yang cukup. Karena itulah, saat membuka usaha dari bisnis bonsai ini, ia memberanikan diri menerima tawaran Kredit Usaha Rakyat dari PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk atau KUR BRI sebesar Rp500 juta, sehingga kini bisa naik kelas dengan berhasil meraup untung jutaan, bahkan hingga ratusan juta Rupiah. “Dulu saya dari SMP hanya hobi koleksi dan menanam bonsai, tapi sekarang saya jadikan ladang bisnis,” kenangnya ketika ditemui langsung di Pondok Desa Bonsai, pada Rabu, 13 Maret 2024.
Bila kebetulan berencana merintis atau mengembangkan bisnis bonsai, maka kisah perjalanan usaha dari Pondok Desa Bonsai, dan peluang bisnis yang dimanfaatkan ini, bisa menjadi referensi yang tepat. Dedi Sanjaya bersama istrinya, sebenarnya telah lebih dulu menjalankan bisnis fashion atau jual beli pakaian yang dipasarkan secara online lewat berbagai platform marketplace, sebelum kemudian beralih ke bonsai. Dari usaha inilah, pengusaha muda dengan 2 anak ini, juga mencoba keberuntungan dengan memasarkan sejumlah tanaman hias, termasuk bonsai koleksinya yang sudah umum dijual di pasaran secara daring yang terus berlanjut hingga sekarang. Baginya, bisnis tanaman hias akan segitu-gitu aja, karena hanya perlu dirawat, berbeda dengan bonsai yang lebih menantang karena harus dibuat dari awal dan dirawat secara khusus. Ditambah lagi sudah menjadi hobi, maka ia tidak tanggung-tanggung untuk mempelajari cara membuat dan merawat bonsai dengan mengikuti pelatihan secara intensif. Ketika bonsai karyanya mulai dilirik banyak orang terutama masyarakat lokal hingga dari luar Bali, pada saat yang sama ia juga punya kesempatan untuk mengikuti berbagai bazaar atau pameran dan festival untuk memasarkan dan mempromosikan koleksi bonsai handalannya. “Jadi dari dulu hobi, setelah ada transaksi beli pohon dan jual lagi, tahu-tahu dapat jalanankan bisnis ini,” katanya sambil menyerumput kopi hitamnya.
Ia pun memulai bisnis bonsainya dengan menyulap halaman rumahnya menjadi stand atau tempat meletakkan bonsai dengan berbagai macam bentuk dan ukuran. Lahan seluas 14 are itu, ia sewa selama 10 tahun dengan harga Rp1,5 juta per are yang digunakan untuk memajang berbagai jenis pohon bonsai, sekaligus menawaran jasa pelayanan lanskap atau jasa desain dan instalasi taman, irigasi taman, maupun relokasi pohon untuk taman hotel, villa, dan perumahan ataupun sekolah. Bahkan kini, semua jenis bonsai sudah bisa dijual, dari depan sampai belakang stand sepanjang 140 meter itu sudah ada sekitar ribuan bonsai, di antaranya dari jenis Santigi, Beringin Ficus, Beringin Kimeng, Sianci, Lohansung, Iprik Elegan (Bunut Hitam), Anting Putri, Loa, semua jenis Waru, Sancang, Wahong dan lainnnya. Selain itu juga menjual peralatan bonsai, hingga media dan pupuk untuk berbagai jenis bonsai. Menurutnya yang sering laku terjual hampir semua jenis Santigi, karena paling banyak dicari, termasuk Beringin Kimeng, Beringin Iprik dan Anting Putri, karena harga jualnya yang relatif stabil. Harga jualnya ada dari Rp500 ribu ke bawah. Kalau harga bonsai yang lebih tinggi, bahkan bisa dijual puluhan hingga ratusan juta Rupiah. “Paling mahal pernah saya jual bonsai 12 ribu USD atau Rp180 jutaanya. Sisanya paling tinggi dijual Rp20 juta sampai Rp40 juta transaksinya. Perbulan omzet sekarang ya kira-kira Rp200 juta per bulan. Tapi sudah termasuk menjual peralatan bonsai dan jasa lanskap,” bebernya.
Saat ini, pemasaran bonsai selain dipajang dari stand dan berbagai market place, juga melalui media sosial Instagram, Facebook, Tiktok maupun Youtube. “Penjualannya sebenarnya lebih banyak secara online melalui semua marketplace. Karena dari awal bisnis ini kan jualan di rumah,” ungkap pria berusia 35 tahun ini. Meskipun tergolong bisnis rumahan dengan hanya dibantu 2 orang pekerja untuk merawat dan pemupukan rutin, namun penjualan per bulannya bisa mencapai 10 sampai 100 pot atau lebih. Dengan harga bonsai yang ditawarkan mulai harga 100 ribu hingga puluhan atau ratusan juta Rupiah, Pondok Desa pernah meraup untung penjualan puluhan hingga ratusan juta Rupiah dalam satu bulan. Keuntungan yang terbilang cukup fantastis itu, karena harga dasar untuk membuat pohon bonsai juga lumayan besar. Seperti Beringin Kimeng bahan dasar pohonnya saja harus dibeli seharga Rp50 juta, serta jenis bonsai yang lainnya rata-rata dari Rp15 juta dengan memborong 10 pohon. “Misalnya Santigi ini kan dulu belinya hanya Rp70 juta, tapi sekarang ini ada yang mau menawar sampai Rp400 juta, tapi saya belum mau lepas,” ungkapnya dengan bangga, seraya menyebutkan kalau ada pohon bonsainya mati juga tidak akan mengalami kerugian, karena kayunya yang sangat keras bisa diukir menjadi barang bernilai seni yang tinggi. “Ini Santigi saya beli Rp30 juta sudah mati. Kalau ongkos ukirnya Rp17,5 juta saya kirim ke Jepara, karena di Bali diminta Rp40 juta. Jadi kalau kayu ukiran ini harus dijual di atas itu harganya. Apalagi beratnya bonsai ini bisa 300 kg sampai 700 kg, karena sangat keras dan berat,” terangnya.
Ketika ditanya soal suka dukanya bisnis bonsai, malah dijawab tidak ada dukanya, karena dari hobinya ini bisa menikmati sendiri bonsai yang makin banyak dikoleksinya. Kalau sukanya, kini sudah bisa mendatangkan berbagai bakalan pohon bonsai dari Sulawesi, Tual dan Saumlaki, Maluku Barat, termasuk Sumba dan Sumbawa, Lombok, serta sisanya dari petani lokal Bali. “Kadang-kadang ada yang datang langsung menjual ke sini. Tapi kalau hasil pendongkel (penyedia bahan bonsai, red) dari Saumlaki sudah ada ijin kayunya lengkap,” imbuhnya. Sebenarnya, selain bonsai, juga mengembangkan usaha jual beli mobil bekas dan Rumah Joglo, serta toko pakaian, karena sejak dulu istrinya, Ni Made Nita Nadya Agustiana sudah menyambi usaha fashion dan butik. Pada saat itulah, ia bersama istrinya baru mengenal KUR BRI yang ditawakan pada tahun 2016 yang awalnya mengambil pinjaman Rp20 juta. “Waktu itu masih di home store (jualan di rumah, red) dengan modal kecil. Termasuk saat itu bisnis bonsai suami saya, juga jualan di rumah yang beralamat di Jalan Taruma Negara (Kecamatan Kediri, Tabanan, red) hingga hutang KUR di BRI lunas, bahkan tidak sampai 1,5 tahun sudah lunas,” cerita ibu kadung dari Putu Narendra Enzi Sanjaya ini, sembari mengaku kembali menambah pinjaman KUR pada tahun 2017 dengan mengambil kredit Rp50 juta, hingga tahun 2018 kembali ditawarkan KUR BRI Rp100 juta untuk menambah modal membuka Toko NZY.id yang diambil dari singkatan nama putra pertamanya, Enzi Sanjaya di Jalan Jepun No.41, Kediri, Tabanan (Utara RS Kasih Ibu Tabanan).
Pengusaha perempuan berusia 33 tahun ini, mengakui peran BRI juga sangat besar dalam menentukan jalan hidup usahanya selama ini. Pasalnya, modal dari KUR yang diberikan BRI telah mendukung pengembangan usaha fashionnya hingga bisa membuka toko pakaian sendiri. Sejak itulah, ia akhirnya mendukung suaminya kembali menambah modal dengan mengambil kredit KUR BRI hingga Rp500 juta yang sepenuhnya digunakan untuk memperluas usahanya di masa depan dengan membuka Pondok Desa Bonsai yang didukung lahan lebih luas. “Karena awalnya hanya usaha kecil-kecilnya, paling hanya bisa beli bonsai seharga Rp5 juta ke bawah. Itu pun pas ada uang, namun akhirnya juga berani meminjam KUR yang lebih besar untuk usaha bonsai sekarang,” terangnya. Dia sangat berharap dengan memperluas usahanya ini, juga dapat memberikan lebih banyak lapangan kerja bagi masyarakat sekitar dan terus memberikan kontribusi positif bagi perekonomian lokal. “Saya bersyukur, karena dengan bantuan KUR BRI bisa mempercepat perkembangan usaha saya, sehingga dapat membuka lapangan pekerjaan. Ada beberapa karyawan yang membantu saya di toko,” ujarnya.
Dari kisah tersebut, sebenarnya peluang bisnis bonsai tidak ada matinya. Buktinya, seni pengerdilan tanaman atau bonsai yang muncul sejak berabad-abad lalu masih tinggi peminatnya hingga masa sekarang. Bukan hanya di negara asalnya melainkan juga hampir di seluruh dunia. Mengambil contoh pada Pondok Desa Bonsai, melihat peminat bonsai khususnya di Bali lumayan tinggi, sehingga bukan tidak mungkin tinggi pula di daerah lainnya. Popularitas bonsai yang tak pernah pudar tersebut, karena bonsai merupakan hasil perpaduan yang unik antara pengetahuan, seni, dan hortikultura, sehingga menarik banyak kalangan mengoleksinya atau menjadikannya hobi. Ada pula kepercayaan bahwa bonsai bukanlah miniatur pohon biasa, melainkan representasi dari alam yang benar-benar realistis. Untuk menghasilkan bonsai yang indah dan bernilai seni tinggi, pebonsai harus memiliki keterampilan dan kesabaran dalam membuatnya. Semakin indah bentuk bonsai, semakin mahal harganya. Namun, pemula pun tetap bisa bersaing dengan pebonsai yang sudah andal, meskipun bonsai yang dihasilkan oleh pebonsai pemula terbilang sederhana, namun peminatnya akan selalu ada.
Tidak seperti tanaman hias pada umumnya yang lebih banyak mengandalkan perawatan, bonsai sangat istimewa karena harus dibuat terlebih dahulu. Saat membuat bonsai, pebonsai akan mencurahkan kreativitasnya berdasarkan apa yang dia inginkan dan menggunakan teknik-teknik bonsai yang dikuasainya. Menariknya, tidak semua orang menguasai teknik bonsai, sehingga keterampilan yang langka tersebut akan berbanding lurus dengan harga bonsai yang mahal. Itulah mengapa peluang meraih pasar yang besar terbuka lebar bagi para pebonsai. Namun, jangan khawatir, keterampilan membuat bonsai dapat dipelajari oleh siapa pun. Selain itu, urusan modal adalah hal paling krusial dalam merintis suatu bisnis, sehingga harus disiapkan paling tidak berdasarkan kalkulasi kebutuhan awal yang menunjang berjalannya bisnis. Untuk itu, disarankan agar dalam merintis bisnis bonsai tidak hanya bermodalkan hobi dan suka, tetapi juga modal biaya. Setidaknya diperlukan modal Rp250 ribu hingga Rp1 juta untuk membeli tanaman yang cocok untuk dibuat bonsai, juga pot baik dari tanah liat maupun keramik. Oleh karena itu, Pemimpin Cabang BRI Tabanan, Made Merta Abdi Negara, mengaku siap mamanjakan nasabah BRI melalui program KUR untuk membantu persoalan modal usaha ini.
Sebelumnya, BRI telah menyalurkan KUR selama masa pandemi Covid-19 kepada masyarakat usaha setempat, utamanya klaster ekonomi dari berbagai bidang UMKM, seperti klaster tanaman hias, klaster pedagang kecil dan industri kecil. Untuk membantu permodalan sektor UMKM selama pandemi Covid-19, awalnya hanya program KUR Supermikro yang paling banyak diminati nasabah debitur kecil yang pada umumnya terpukul akibat kondisi pandemi di Bali, termasuk di Kabupaten Tabanan. Bahkan, kemudian terjadi peningkatan pemohon KUR Supermikro termasuk KUR Mikro, karena kredit tersebut disertai sejumlah kemudahan dalam melakukan pembayaran cicilan yang dibantu pemerintah untuk pembayaran bunga selama dalam tiga bulan pertama. “Awal diluncurkannya KUR Supermikro sepi peminat dari klaster ekonomi UMKM, namun dengan pandemi yang lalu, program KUR Supermikro malah dicari. Dengan besaran pinjaman bisa mencapai Rp10 juta per nasabah, kini KUR Supermikro menjadi idola para debitur kecil. Mereka bisa mudah mendapatkan kredit Rp10 juta ditambah subsidi dari pemerintah berupa keringanan bunga selama 3 bulan,” katanya. Ia menjelaskan, saat ini klaster ekonomi yang ingin ikut program KUR sudah dapat dilayani seluruh unit BRI yang ada di wilayah Kantor BRI Cabang Tabanan, sehingga pelaku UMKM dapat mengajukan kredit berdasaran klaster usaha yang digelutinya. “Seperti klaster untuk usaha bonsai juga bisa kita bantu KUR BRI,” pungkasnya. ama/ksm