Nasional

Skandal di Balik Proyek LNG: Kepentingan Oligarki Hambat Masa Depan Bali


Jakarta, PancarPOSProyek Terminal Liquefied Natural Gas (LNG) di Bali yang sudah hampir satu dekade digagas, kembali menemui jalan buntu. Padahal, proyek ini seharusnya menjadi solusi untuk pemenuhan kebutuhan energi Bali yang kian mendesak. Namun hingga kini, izin lingkungan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) masih terkatung-katung tanpa kepastian. Meskipun banyak pihak menganggap aspek teknis dan regulatif proyek ini sudah terpenuhi, ada yang berpendapat bahwa mandeknya izin ini lebih disebabkan oleh adanya intervensi kekuasaan dari kelompok elit tertentu yang tidak menginginkan proyek ini terealisasi.

Dugaan ini semakin menguat setelah analisis terhadap sejumlah peristiwa yang terjadi di balik layar. Salah satu elemen yang paling banyak dikaitkan dengan penghambatan izin lingkungan adalah Bali Turtle Island Development (BTID), sebuah entitas bisnis besar yang memiliki kepentingan di kawasan Serangan, Bali, yang diduga menjadi salah satu pihak yang keberatan dengan proyek LNG ini. Saat sidang Analisis Dampak Lingkungan (Amdal) digelar, BTID secara tegas menyatakan penolakannya terhadap proyek yang telah mendapat dukungan dari banyak pihak, termasuk masyarakat adat di beberapa desa terdampak.

Keberatan BTID ini, yang disampaikan dengan cara yang cukup agresif, menimbulkan kecurigaan bahwa pihak-pihak yang terlibat dalam perusahaan ini mungkin sedang mempertahankan kepentingan bisnis mereka dengan menghalangi proyek yang dinilai dapat mengancam dominasi mereka di kawasan tersebut. Bahkan muncul desas-desus bahwa BTID telah berupaya menggiring opini publik agar proyek LNG dialihkan ke luar Bali, meskipun itu jelas tidak masuk akal mengingat kebutuhan listrik Bali yang terus meningkat.

Nama LBP yang juga merupakan salah satu pejabat tinggi di pemerintahan, kembali mencuat dalam kaitannya dengan proyek LNG ini. LBP diketahui sebagai sosok yang memiliki kedekatan dengan BTID dan bahkan pernah menerbitkan surat yang secara eksplisit menolak proyek LNG beberapa tahun lalu. LBP adalah figur yang dikenal sangat berpengaruh di Bali, dan keberadaannya di tengah dinamika proyek LNG ini semakin menambah kecurigaan bahwa ada permainan politik dan bisnis di balik layar.

Sebagai pejabat yang memiliki kekuasaan besar, apakah LBP terlibat dalam upaya penghambatan proyek LNG demi menjaga kepentingan tertentu? Sejumlah pihak menilai bahwa langkah LBP yang menolak proyek ini, meski sudah melalui proses panjang, adalah langkah yang sangat merugikan rakyat Bali yang sudah lama menantikan pasokan energi yang lebih murah dan bersih.

Di sisi lain, proyek LNG ini sebenarnya telah mendapat dukungan luas dari masyarakat adat di kawasan yang akan terdampak, seperti Desa Adat Serangan, Desa Intaran, Desa Sidakarya, Desa Pedungan, dan Desa Sesetan. Bahkan, telah ada kesepakatan harmonisasi antara pihak pemrakarsa, pemerintah daerah, serta masyarakat adat untuk memastikan proyek ini dilaksanakan dengan prinsip kehati-hatian, termasuk memastikan jarak aman minimal 500 meter dari pemukiman warga.

Namun, meski dukungan masyarakat adat sudah tercapai dan aspek lingkungan sudah dipenuhi, proyek LNG tetap tidak mendapatkan izin yang dibutuhkan. Sebuah sumber internal di Pemerintah Provinsi Bali, yang meminta identitasnya tidak disebutkan, menyatakan bahwa hambatan terbesar dalam kelanjutan proyek LNG ini berasal dari BTID, yang dilaporkan memainkan peran besar dalam menghambat proyek dengan cara menggiring kebijakan dan opini agar proyek ini terus tertunda.

“Secara regulatif dan sosial, proyek ini sudah clear. Semua pihak yang terlibat, termasuk organisasi lingkungan sudah memberi dukungan. Bahkan tidak menolak, mereka hanya meminta agar aspek kelestarian lingkungan tetap diperhatikan. Yang justru keberatan keras adalah BTID,” ujar sumber tersebut.

Tak bisa dipungkiri bahwa situasi ini semakin memperlihatkan adanya tarik-menarik kepentingan yang kuat di balik layar. Proyek LNG, yang awalnya digadang-gadang sebagai solusi energi bersih dan murah untuk Bali, kini menjadi korban dari kekuasaan dan kepentingan elit yang lebih memikirkan keuntungan pribadi atau kelompok mereka ketimbang kebutuhan masyarakat banyak.

Kebutuhan listrik Bali yang semakin mendesak, terutama dengan semakin pesatnya perkembangan sektor pariwisata dan hunian di kawasan selatan Bali, seharusnya menjadi alasan utama untuk segera merealisasikan proyek LNG ini. Namun yang terjadi justru sebaliknya, meskipun proyek ini sudah melewati berbagai tahapan evaluasi yang melibatkan banyak pihak, izin lingkungan yang menjadi kunci kelanjutan proyek tetap tak kunjung dikeluarkan.

Apabila penghambatan ini terus berlangsung, masyarakat adat Bali, terutama di kawasan terdampak seperti Intaran, Sidakarya, Sesetan, Pedungan, dan Serangan, akan semakin frustrasi. Seperti yang diungkapkan oleh Bendesa Adat Sidakarya, I Ketut Suka, masyarakat bawah yang seharusnya mendapatkan manfaat dari proyek ini sudah lelah menunggu. “Kami sebagai masyarakat bawah pastika mengharapkan yang terbaik dan bermanfaat untuk masyarakat sekitar dan Bali umumnya. Jangan sampai ada yang bermain untuk kepentingan pribadi atau kelompok dengan mengorbankan yang lain,” tegasnya ketika dihubungi pada Selasa (22/4/2025).

Suka juga menambahkan, “Jika kesepakatan harmonisasi yang sudah disetujui tidak berjalan, maka masyarakat adat akan gigit jari. Proyek ini bisa membawa manfaat besar jika dijalankan dengan baik dan mengutamakan keselamatan warga.”

Bendesa Adat lainnya juga turut menyuarakan hal yang sama. Mereka menuntut transparansi dan keberpihakan pada rakyat Bali, bukan hanya pada segelintir kelompok elit yang mementingkan kepentingan pribadi atau kelompok mereka. “Kami tidak ingin Bali dirugikan hanya karena ulah segelintir orang yang bermain di balik layar,” ujar salah seorang tokoh adat di Serangan.

Jika kekuasaan dan kepentingan oligarki terus mendominasi proses pengambilan keputusan, maka masa depan energi Bali akan semakin terancam. Proyek LNG yang telah mendapatkan dukungan dari masyarakat adat, pemerintah daerah, dan berbagai organisasi lingkungan ini, harusnya menjadi momentum bagi Bali untuk mewujudkan kemandirian energi yang bersih dan murah. Namun jika intervensi kekuasaan ini dibiarkan, maka rakyat Bali yang akan menanggung dampaknya.

Masyarakat Bali kini menunggu jawaban dari pemerintah dan semua pihak terkait: apakah mereka akan membiarkan proyek yang menguntungkan rakyat banyak ini terus terhambat demi kepentingan segelintir orang? Atau akankah mereka memprioritaskan kesejahteraan masyarakat Bali dan masa depan energi yang berkelanjutan?

Jika hal ini tidak segera diselesaikan, Bali akan kembali terperosok dalam masalah pasokan energi, sementara kepentingan bisnis elit terus mengancam masa depan masyarakat dan lingkungan Bali. Diketahui Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan meminta pembangunan Terminal Liquified Natural Gas (LNG) di Bali terus digenjot. Hal ini dilakukan agar Indonesia bisa memprioritaskan pemenuhan kebutuhan energi dalam negeri sehingga pada gilirannya secara bertahap tidak lagi mengekspor LNG atau gas alam cair.

Ia menjelaskan, keberadaan Terminal LNG di Bali ditambah dengan keseluruhan yang ada Indonesia, maka produksi gas alam Tanah Air akan tergolong cukup. Bahkan, dalam hitungannya, pada tahun 2032, Indonesia bakal mengalami kelebihan pasokan gas alam cair. Kelebihan pasokan itu yang nantinya akan digunakan utamanya untuk memenuhi kebutuhan di dalam negeri. Pasalnya, selama ini yang terjadi justru kebalikannya, yakni ekspor LNG, namun akhirnya negara harus mengimpor LPG.

“Kita bikin saja semua di dalam negeri, kan nilai tambah itu. Jadi lapangan kerja buat rakyat juga bertambah dan harganya bisa ditekan,” ujar Luhut. Nantinya, kata Luhut, dengan adanya Terminal LNG di Bali, pengeluaran bisa ditekan, asalkan tidak mengganggu kawasan wisata.

Sementara itu, PT Bali Turtle Island Development (BTID) selaku pengelola Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Kura-kura Bali di Pulau Serangan sebenarnya tidak ada hubungan dengan proyek terminal LNG Bali. Apalagi BTID hanya fokus memulai pembangunan marina internasional April 2025. Hal ini disampaikan Head of Communication PT BTID Zakki Hakim yang menyikapi rencana pembatasan kembali area laut karena akan memulai konstruksi di dermaga.

“Kalau kemarin arahan dari pemprov, dari kementerian, BPSPL, dan PSDKP sebetulnya semakin cepat PT BTID membangun, warga dengan sendirinya bisa melihat ini berbahaya ada alat berat jadi akan menjauh dari area-area konstruksi, rencananya bulan April ini,” kata dia. Zakki mengatakan marina internasional ini akan jadi yang pertama hadir, sebagai hub yang terintegrasi dengan berbagai fasilitas di KEK Kura-kuta Bali.

Setelah jadi nanti, sebanyak 120-140 kapal pesiar mewah dapat sandar namun hingga saat ini belum ada permintaan masuk karena menunggu pembangunannya rampung. PT BTID belum melihat berapa banyak tenaga kerja yang akan diserap untuk marina internasional ini, namun secara umum KEK Kura-kura Bali menargetkan selama 30 tahun dapat mempekerjakan 30 ribu tenaga kerja langsung dan 60 ribu tenaga kerja tidak langsung. ama/ksm



MinungNews.ID

Saluran Google News PancarPOS.com

Baca Juga :



Back to top button