Rakyat Antre Beli BBM Pakai Barcode, Pejabat Pertamina Sukses Korupsi Hingga Rp193,7 Triliun

Jakarta, PancarPOS | Ironi kembali terjadi di negeri ini. Saat rakyat harus berjuang mendapatkan bahan bakar minyak (BBM) dengan antre panjang dan sistem barcode yang menyulitkan, para pejabat Pertamina justru terlibat dalam skandal korupsi yang merugikan negara hingga Rp193,7 triliun. Kejaksaan Agung (Kejagung) telah menetapkan tujuh orang sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi tata kelola minyak mentah di PT Pertamina Patra Niaga.
Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus) Kejagung, Abdul Qohar, mengungkapkan bahwa Pertamina Patra Niaga mengabaikan pasokan minyak dalam negeri dengan berbagai dalih. Mereka justru lebih memilih untuk mengimpor minyak mentah dalam jumlah besar. Keputusan ini diduga dibuat dengan motif korupsi, yang akhirnya menimbulkan kerugian negara dalam jumlah yang fantastis.
Dalam kasus ini, tersangka utama adalah Riva Siahaan, Direktur Utama Pertamina Patra Niaga. Bersama dengan Sani Dinar Saifuddin, Direktur Optimasi Feedstock dan Produk, serta Yoki Firnandi, Direktur Utama PT Pertamina Internasional Shipping, mereka mengadakan rapat dan mengambil keputusan strategis yang merugikan negara.
Sementara korupsi ini terjadi di level elite, rakyat kecil harus berjuang untuk mendapatkan BBM dengan sistem yang semakin sulit. Pemerintah menerapkan kebijakan penggunaan barcode MyPertamina sebagai syarat pembelian BBM bersubsidi. Sistem ini diklaim untuk memastikan subsidi tepat sasaran, namun kenyataannya justru menyulitkan masyarakat, terutama di daerah terpencil yang akses teknologinya terbatas.
Banyak warga mengeluhkan harus antre panjang di SPBU, bahkan tidak jarang kehabisan BBM sebelum bisa mengisi tangki kendaraannya. Di beberapa daerah, antrean kendaraan mengular hingga berjam-jam, menyebabkan kemacetan dan menghambat aktivitas ekonomi. “Kami ini sudah susah cari kerja, sekarang beli bensin saja dipersulit. Sudah antre lama, pas giliran kami malah habis,” keluh Wahyu, seorang pengemudi ojek online di Jakarta.
Penyelidikan Kejagung mengungkap bahwa keputusan impor minyak mentah yang dilakukan Pertamina Patra Niaga tidak semata-mata karena kebutuhan, melainkan karena adanya kepentingan pribadi dan kelompok tertentu. “Seharusnya, pasokan minyak dalam negeri bisa dimaksimalkan. Namun, mereka malah mencari alasan untuk melakukan impor dengan dalih efisiensi dan kualitas. Padahal, langkah ini justru merugikan negara,” ujar Abdul Qohar.
Dalam praktiknya, impor minyak sering kali menjadi lahan empuk bagi para pejabat untuk mendapatkan keuntungan pribadi. Kontrak kerja sama dengan pihak asing, markup harga, serta pengadaan fiktif menjadi modus yang kerap digunakan. Kejaksaan mencurigai bahwa dana hasil korupsi ini mengalir ke berbagai pihak, termasuk oknum di pemerintahan.
Terungkapnya kasus ini semakin menambah daftar panjang korupsi di sektor energi yang merugikan rakyat. Publik pun geram dengan fakta bahwa di tengah kesulitan ekonomi, para pejabat justru menyelewengkan uang negara demi kepentingan pribadi. Masyarakat pun mendesak agar pemerintah tidak hanya berhenti pada penetapan tersangka, tetapi juga memastikan bahwa mereka benar-benar dihukum dengan tegas dan uang negara yang dikorupsi bisa dikembalikan.
“Kami ingin melihat keadilan ditegakkan. Jangan sampai seperti kasus-kasus sebelumnya, di mana mereka yang mencuri uang negara malah hidup enak di penjara,” ujar Ray Sukarya, seorang aktivis anti-korupsi. Hingga kini, Kejaksaan Agung masih terus melakukan penyelidikan lebih lanjut dan tidak menutup kemungkinan akan ada tersangka baru dalam kasus ini. Namun, bagi rakyat kecil yang terus kesulitan mendapatkan BBM, janji penegakan hukum tak akan banyak berarti jika kebijakan tetap tidak berpihak kepada mereka. ama/ksm
