Koruptor Ratusan Triliun Diminta Dihukum Gantung

Jakarta, PancarPOS | Gelombang protes rakyat setelah terungkapnya kasus korupsi ratusan triliun kembali terulang di Pertamina Patra Niaga yang merugikan negara hingga Rp193,7 triliun. Rakyat yang selama ini terbebani dengan harga bahan bakar minyak (BBM) yang mahal dan kebijakan yang menyulitkan, kini menuntut hukuman terberat bagi para pelaku korupsi. Tuntutan utama yang paling lantang disuarakan adalah hukuman gantung bagi para koruptor.
Sejak kasus ini mencuat, masyarakat melalui media sosial menuntut agar pelaku yang terbukti merampok uang negara dalam jumlah besar dijatuhi hukuman mati. Rakyat menyuarakan ketidakpuasan mereka terhadap sistem hukum yang dinilai terlalu lembek terhadap koruptor. “Hukuman penjara seumur hidup saja tidak cukup. Uang yang mereka curi tidak bisa dikembalikan sepenuhnya, dan dampaknya sangat besar bagi rakyat. Satu-satunya hukuman yang setimpal adalah hukuman mati,” ujar Rendy, salah satu pemilik akun media sosial.

Kemarahan rakyat dipicu oleh ketimpangan yang semakin nyata. Di saat mereka harus berjuang mendapatkan BBM dengan sistem yang rumit dan harga yang semakin mahal, pejabat di Pertamina justru menyalahgunakan kewenangan mereka untuk memperkaya diri. Diketahui berita sebelumnya, korupsi dalam tata kelola minyak mentah di PT Pertamina Patra Niaga dilakukan dengan cara mengabaikan pasokan minyak dalam negeri dan lebih memilih impor yang penuh manipulasi. Keputusan ini bukan hanya merugikan keuangan negara tetapi juga membuat harga BBM di dalam negeri semakin tinggi.
“Rakyat disuruh antre panjang, diberi sistem barcode yang menyulitkan, tapi pejabatnya enak-enakan mengeruk keuntungan dari hasil korupsi. Ini sudah tidak bisa ditoleransi lagi!” ujar Rina, akun tiktok lainnya. Tuntutan hukuman mati bagi koruptor semakin menguat. Masyarakat menilai bahwa korupsi dalam jumlah besar sama dengan pengkhianatan terhadap negara dan berdampak langsung pada kesejahteraan rakyat. “Kalau di beberapa negara seperti China dan Arab Saudi, koruptor bisa dihukum mati, kenapa di Indonesia masih diberikan keleluasaan? Korupsi ratusan triliun bukan hanya merugikan negara, tapi juga membunuh masa depan rakyat,” tegasnya.

Kasus korupsi di Pertamina Patra Niaga dengan nilai fantastis Rp193,7 triliun telah memicu gelombang kemarahan rakyat. Tuntutan hukuman gantung bagi para pelaku semakin menguat. Masyarakat menilai bahwa korupsi dalam jumlah besar bukan hanya merugikan negara, tetapi juga menyengsarakan rakyat, sehingga hukuman mati menjadi satu-satunya cara untuk memberikan efek jera.
Sebelumnya diketahui, ironi kembali terjadi di negeri ini. Saat rakyat harus berjuang mendapatkan bahan bakar minyak (BBM) dengan antre panjang dan sistem barcode yang menyulitkan, para pejabat Pertamina justru terlibat dalam skandal korupsi yang merugikan negara hingga Rp193,7 triliun. Kejaksaan Agung (Kejagung) telah menetapkan tujuh orang sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi tata kelola minyak mentah di PT Pertamina Patra Niaga.
Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus) Kejagung, Abdul Qohar, mengungkapkan bahwa Pertamina Patra Niaga mengabaikan pasokan minyak dalam negeri dengan berbagai dalih. Mereka justru lebih memilih untuk mengimpor minyak mentah dalam jumlah besar. Keputusan ini diduga dibuat dengan motif korupsi, yang akhirnya menimbulkan kerugian negara dalam jumlah yang fantastis.
Dalam kasus ini, tersangka utama adalah Riva Siahaan, Direktur Utama Pertamina Patra Niaga. Bersama dengan Sani Dinar Saifuddin, Direktur Optimasi Feedstock dan Produk, serta Yoki Firnandi, Direktur Utama PT Pertamina Internasional Shipping, mereka mengadakan rapat dan mengambil keputusan strategis yang merugikan negara.

Sementara korupsi ini terjadi di level elite, rakyat kecil harus berjuang untuk mendapatkan BBM dengan sistem yang semakin sulit. Pemerintah menerapkan kebijakan penggunaan barcode MyPertamina sebagai syarat pembelian BBM bersubsidi. Sistem ini diklaim untuk memastikan subsidi tepat sasaran, namun kenyataannya justru menyulitkan masyarakat, terutama di daerah terpencil yang akses teknologinya terbatas.
Banyak warga mengeluhkan harus antre panjang di SPBU, bahkan tidak jarang kehabisan BBM sebelum bisa mengisi tangki kendaraannya. Di beberapa daerah, antrean kendaraan mengular hingga berjam-jam, menyebabkan kemacetan dan menghambat aktivitas ekonomi. “Kami ini sudah susah cari kerja, sekarang beli bensin saja dipersulit. Sudah antre lama, pas giliran kami malah habis,” keluh Wahyu, seorang pengemudi ojek online di Jakarta.
Penyelidikan Kejagung mengungkap bahwa keputusan impor minyak mentah yang dilakukan Pertamina Patra Niaga tidak semata-mata karena kebutuhan, melainkan karena adanya kepentingan pribadi dan kelompok tertentu. “Seharusnya, pasokan minyak dalam negeri bisa dimaksimalkan. Namun, mereka malah mencari alasan untuk melakukan impor dengan dalih efisiensi dan kualitas. Padahal, langkah ini justru merugikan negara,” ujar Abdul Qohar.
Dalam praktiknya, impor minyak sering kali menjadi lahan empuk bagi para pejabat untuk mendapatkan keuntungan pribadi. Kontrak kerja sama dengan pihak asing, markup harga, serta pengadaan fiktif menjadi modus yang kerap digunakan. Kejaksaan mencurigai bahwa dana hasil korupsi ini mengalir ke berbagai pihak, termasuk oknum di pemerintahan. ama/ksm
