Manajemen Stratejik dalam Pemerintahan Bali, Antara “Lupa Diri” dan “Ngereres”
Denpasar, PancarPOS | Dalam konteks pemerintahan daerah di Bali, fenomena yang sering terlihat di kalangan pejabat dan anggota dewan yang terpilih dalam Pemilu atau Pilkada, yaitu “lupa diri” saat berkuasa dan “ngereres” (tubuh kurus lemah) setelah gagal terpilih kembali, yaitu mencerminkan permasalahan manajerial yang cukup kompleks. Fenomena ini memiliki dampak besar terhadap kinerja organisasi pemerintahan dan dapat dianalisis melalui pendekatan manajemen stratejik.
Manajemen stratejik adalah serangkaian keputusan dan tindakan yang diambil oleh organisasi untuk mencapai tujuan jangka panjang. Dalam hal ini, pemerintah daerah merupakan organisasi yang berfungsi untuk melayani kepentingan masyarakat. Seharusnya, keputusan yang diambil oleh para pejabat atau anggota dewan harus didasarkan pada analisis yang mendalam terhadap lingkungan internal dan eksternal, serta didorong oleh visi yang jelas untuk kemajuan daerah. Namun, fenomena “lupa diri” dan “ngereres” menandakan adanya kekurangan dalam penerapan prinsip-prinsip manajemen stratejik yang baik.
Ketika seorang pejabat atau anggota dewan berhasil meraih kekuasaan, sering kali ada kecenderungan untuk “lupa diri.” Dalam konteks manajemen stratejik, hal ini mencerminkan adanya ketidaksesuaian antara nilai-nilai organisasi dan tindakan individu yang memegang kekuasaan. Salah satu prinsip utama dalam manajemen stratejik adalah keselarasan antara visi, misi, dan strategi dengan tindakan operasional. Namun, ketika seorang pejabat terpilih mulai menjauhkan diri dari akar rakyat dan lebih fokus pada kepentingan pribadi atau kelompok, ini menunjukkan bahwa ada kegagalan dalam menjaga keselarasan tersebut.
Ketika pejabat atau dewan “lupa diri,” mereka sering kali gagal beradaptasi dengan lingkungan eksternal, yaitu kebutuhan masyarakat yang terus berkembang. Dalam dunia manajemen, ini disebut sebagai ketidakmampuan untuk melakukan strategic alignment atau penyelarasan strategi dengan kebutuhan pasar (dalam hal ini, kebutuhan rakyat). Akibatnya, kebijakan dan program yang diterapkan menjadi tidak relevan dengan kebutuhan masyarakat yang pada gilirannya mengurangi efektivitas pemerintahan.
Fenomena “ngereres” yang terjadi setelah seorang pejabat atau anggota dewan yang gagal terpilih kembali juga memiliki makna penting dalam perspektif manajemen stratejik. Setelah kehilangan jabatan, para pejabat atau anggota dewan tersebut sering kali mengalami penurunan semangat dan kehilangan arah dalam hidup mereka yang tercermin pada kondisi fisik yang semakin lemah atau “kurus kering.” Hal ini menunjukkan kurangnya pengelolaan sumber daya pribadi yang seharusnya dipersiapkan untuk menjaga keseimbangan antara kehidupan pribadi dan profesional.
Dalam manajemen stratejik, penting bagi setiap individu dalam organisasi untuk memiliki kemampuan beradaptasi dengan perubahan dan untuk dapat merencanakan keberlanjutan jangka panjang. Ketika seorang pejabat atau anggota dewan hanya fokus pada kekuasaan jangka pendek dan tidak mempersiapkan rencana untuk masa depan setelah jabatan mereka berakhir, ini menciptakan ketidakseimbangan dalam perencanaan strategis. Para pejabat yang hanya mengandalkan kekuasaan politik tanpa strategi pengelolaan diri dan organisasi yang baik akan kesulitan beradaptasi saat mereka kehilangan posisi tersebut.
Fenomena ini berdampak langsung pada kinerja organisasi pemerintahan. Dalam perspektif manajemen stratejik, kinerja organisasi sangat bergantung pada kualitas kepemimpinan yang mampu mengarahkan visi dan strategi dengan jelas serta melibatkan semua pemangku kepentingan dalam proses pengambilan keputusan. Ketika seorang pejabat “lupa diri,” tidak ada lagi dorongan untuk bekerja sama dengan masyarakat atau mengembangkan kebijakan yang berkelanjutan. Kinerja pemerintahan menjadi terganggu, karena pejabat lebih mementingkan kepentingan pribadi dibandingkan dengan tujuan kolektif.
Selain itu, ketidaksiapan untuk beradaptasi setelah tidak terpilih juga menciptakan ketidakstabilan dalam sistem pemerintahan. Ketika seorang pejabat atau anggota dewan tidak dapat mengelola peralihan kekuasaan dengan baik, proses transisi pemerintahan menjadi lambat dan penuh hambatan. Hal ini mengarah pada stagnasi dalam perencanaan pembangunan dan penyelesaian masalah sosial yang ada.
Agar fenomena “lupa diri” dan “ngereres” ini tidak terus terjadi, penting bagi pejabat dan dewan di Bali untuk menerapkan prinsip-prinsip manajemen stratejik yang berkelanjutan. Pemimpin daerah harus memiliki visi yang jelas dan melibatkan masyarakat dalam proses perencanaan serta pengambilan keputusan. Keterlibatan masyarakat dalam proses perencanaan dapat menciptakan hubungan yang lebih erat antara pejabat dan rakyat, yang pada gilirannya menjaga agar para pejabat tetap fokus pada kepentingan umum, bukan kepentingan pribadi atau kelompok.
Penerapan manajemen stratejik juga berarti adanya kesiapan dalam menghadapi perubahan dan mengelola sumber daya manusia dengan bijaksana. Pemimpin yang bijak akan menyiapkan diri mereka untuk masa depan dan menjaga keseimbangan antara kehidupan pribadi dan jabatan publik. Ini juga termasuk merencanakan transisi yang mulus agar setelah jabatan berakhir, mereka tetap dapat memberikan kontribusi positif bagi masyarakat. ***
Oleh: I Wayan Surnantaka, ST
Mahasiswa Magister Manajemen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Udayana