Nasional

Peternak “Malas”, Kematian Babi di Bali Tembus 3.045 Ekor



Denpasar, PancarPOS | Laporan kematian Babi di Provinsi Bali hingga memasuki minggu kedua bulan Maret 2020, diduga mati karena penyakit flu babi Afrika atau African Swine Flu (ASF) sudah mencapai 3.045 ekor. Dipastikan masih tingginya tingkat kematian babi tersebut disebabkan masyarakat peternak masih “malas” dan belum sepenuhnya melakukan upaya pencegahan terjadinya penyebaran virus ASF secara utuh.

1bl-ik#8/3/2020

Kepala Bidang Kesehatan Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner, Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Provinsi Bali, DR. drh. Ketut Gede Nata Kesuma, MMA., ditemui di Denpasar pada Selasa (10/3/2020) mengatakan, kematian babi tertinggi ada di bulan Januari sebanyak 738 ekor dan di Februari sebanyak 1.724 ekor. Tingkat kematian yang tinggi ini dipastikan masyarakat peternak babi tidak mengikuti arahan dinas, sehingga penyakit mudah menyebar dan membuat tingkat kematian terus meningkat.

“Kematian babi tertinggi terjadi tanggal 20 Januari karena dampak edukasi menurun. Ada masyarakat bandel tidak menerima edukasi, disitu dia jebol. Pas waktu itu yang bandel di Buleleng, jumlah kematian sangat tinggi. Penyebabnya mereka memakai aliran air ke kandang, masih pakai air selokan karena populasi tinggi jebol dia. Inilah susahnya masyarakat diberitahu, kecuali mereka mengalami sendiri. Dikasi tau saja jebol apalagi tidak, mestinya dari awal mereka sudah tau cara memproteksi ternak mereka,” jelas Nata Kesuma.

1bl-bn#4/2/2020

Tingkat kematian babi yang tinggi juga disebabkan peternak di tingkat rumah tangga tidak terlalu peduli dengan kematian babinya karena akan menunda untuk memelihara babi kembali. Sementara peternak yang babinya mati setiap hari tidak memberlakukan bio scurity meliputi orang, barang dan hewan (OBH). Ditegaskan mantan Kabid Perbibitan dan Produksi Ternak Dinas Peternakan Provinsi Baliitu, menunggu ditemukan faksin ASF upaya mengeliminir penyakit babi ini hanya bisa dilakukan bila semua pihak melakukan usaha yang sama untuk membendung resiko sebaran ASF.

“Peternak itu sendiri harus bisa membentengi kandangnya sendiri. Meluas ke tingkat RT hingga desa adat. Ketika resiko sebaran bisa dibendung bahkan secara bertahap semua desa adat melakukan pengawasan lalulintas terkait bio scurity tidak hanya dengan penyemprotan disinfektan. Babi ini kan erat kaitannya dengan adat istiadat kita di Bali sehingga sangat diperlukan desa adat membuat pararem agar ternak babi kita bisa diproteksi dan terhindar dari ASF,” tegasnya. eja/ama/jmg

Baca Juga :

One Comment

  1. bapak doktor yang terhormat. bapak tahu tidak yang bapak katakan? bapak memehami tidak sakitnya perasaan para peternak? bapak doktor tahu tidak,bahwa sebenarnya harus ada early warning secara sistematis dari dinas peternakan provinsi? kalau hanyaenyalahkan peternak,tolong tutup saja dinas peternakannya pak. tokh gak ada gunanya bagi para peternak.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *


Back to top button