Anggota DPRD Badung Dukung Kuta Jadi Kota Otonom, Dorong Langkah Strategis Wujudkan Peradaban Baru di Selatan Bali

Badung, PancarPOS | Wacana menjadikan Kuta sebagai kota mandiri atau daerah otonom baru (DOB) kini kian menguat. Lebih dari sekadar pembentukan wilayah administratif baru, ide ini mencerminkan semangat Bali untuk melangkah menuju peradaban baru, sebuah tata kelola wilayah yang lebih fokus, efisien, dan mampu mengangkat harkat daerah pariwisata kelas dunia seperti Kuta.
I Wayan Puspa Negara, anggota DPRD Badung dari Fraksi Partai Gerindra, menjadi salah satu sosok yang menyambut baik gagasan ini. Dalam pernyataannya, ia menegaskan pentingnya menyusun langkah strategis secara terencana, agar Kuta bisa benar-benar berdiri sebagai kota mandiri yang modern dan berdaya saing internasional.
“Ini momentum penting. Kalau benar wacana ini sudah diajukan ke kementerian, maka kita di daerah harus mulai menyiapkan kerangka strategis, jangan hanya bersikap reaktif,” ujar Puspanegara saat ditemui di sela kegiatan resesnya di Kuta, akhir pekan lalu.
Wacana mengenai Kota Otonom Kuta sendiri disebut-sebut berasal dari gagasan akademis. Salah satu pengusulnya adalah I.B. Wijaya, seorang dosen dari universitas negeri di Singaraja, yang telah menyuarakan urgensi pemekaran wilayah Kuta sebagai solusi atas kompleksitas persoalan tata kelola kawasan wisata.
Kuta saat ini terbagi menjadi tiga wilayah administratif: Kuta, Kuta Selatan, dan Kuta Utara. Ketiganya merupakan kawasan vital dalam peta industri pariwisata Bali. Namun dalam struktur pemerintahan saat ini, ketiga wilayah itu masih menjadi bagian dari Kabupaten Badung, dengan pusat pemerintahan di Mangupura. Ketimpangan antara kepadatan aktivitas pariwisata dan pusat pengambilan kebijakan inilah yang dianggap menimbulkan hambatan dalam pelayanan publik dan pengembangan kawasan.
“Kalau kita ingin menjadikan Kuta sebagai destinasi dunia yang tertata dan unggul, kita harus memberi ruang otonomi agar pengambilan kebijakan bisa lebih dekat, lebih responsif terhadap kebutuhan lapangan,” kata Puspanegara.
Namun, membentuk daerah otonom baru tentu bukan perkara mudah. Berdasarkan regulasi yang berlaku, ada empat syarat utama yang harus dipenuhi: jumlah penduduk yang mencukupi, luas wilayah yang memadai, kemampuan keuangan daerah, serta persetujuan dari daerah induk.
“Secara logis, tiga syarat pertama sangat mungkin kita penuhi. Kuta sangat padat, wilayahnya luas dan strategis, serta memiliki potensi pendapatan asli daerah yang tinggi dari sektor pariwisata. Tapi soal persetujuan dari daerah induk, dalam hal ini Pemerintah Kabupaten Badung, ini yang mungkin akan menjadi tantangan dan diskursus politik tersendiri,” jelasnya.
Meski demikian, Puspanegara justru melihat tantangan itu sebagai peluang. Menurutnya, jika semua pihak memiliki pandangan yang sama tentang arah pembangunan Bali—yaitu menciptakan wilayah yang kuat secara otonomi dan tata kelola—maka dialog antara pemerintah pusat, daerah, dan masyarakat bisa membuahkan kesepakatan yang konstruktif.
Ia juga mengingatkan pentingnya membangun konsensus publik. Wacana Kota Otonom Kuta, baginya, tidak boleh hanya menjadi proyek elit politik atau akademik, tapi harus menyerap aspirasi masyarakat lokal yang menjadi bagian langsung dari dinamika kehidupan Kuta.
“Kuta ini jantung pariwisata Bali. Tapi kita belum punya kelembagaan yang benar-benar bisa mengelola kawasan ini secara penuh. Dengan membentuk kota otonom, kita tidak hanya memperkuat birokrasi, tapi juga memperkuat jati diri Kuta sebagai kota pariwisata dunia,” katanya.
Puspanegara berharap pembahasan mengenai pemekaran wilayah ini tidak berhenti pada tataran ide semata. Ia mendorong pemerintah, baik di tingkat provinsi maupun pusat, segera menyusun kajian akademik, naskah usulan, serta peta jalan yang konkret dan partisipatif.
“Ini saatnya Bali mengukir sejarah baru. Kuta sebagai kota mandiri bukan hanya mimpi, tapi bagian dari strategi besar membentuk peradaban baru yang lebih terstruktur, berdaya saing, dan berkelanjutan,” tutupnya. ama/ksm/*
