Hancurkan Bali, Wakil Ketua DPRD Bali Tuntut Pembatalan OSS

Denpasar, PancarPOS | Bali tengah menghadapi ancaman besar terhadap keberlanjutan budaya dan pembangunan berkelanjutan. I Wayan Disel Astawa, Wakil Ketua DPRD Bali, menyuarakan keprihatinannya yang mendalam mengenai sistem perizinan berbasis OSS (Online Single Submission) yang dinilai tidak selaras dengan filosofi Tri Hita Karana yang menjadi landasan kehidupan masyarakat Bali.
Tri Hita Karana, yang berakar kuat dalam kebudayaan Bali, mencakup tiga pilar utama: Parahyangan (hubungan dengan Tuhan), Palemahan (hubungan dengan alam), dan Pawongan (hubungan antar manusia). Namun, menurut Disel Astawa, pelaksanaan perizinan melalui OSS justru mengancam prinsip-prinsip tersebut. “Contohnya seperti Kampung Rusia di Ubud. Di sana, sistem OSS yang diterapkan tidak memperhatikan aspek penyandingan antara pembangunan dan adat setempat. Akibatnya, banyak bangunan yang tidak sesuai dengan peruntukannya dan tata ruang yang telah disepakati,” ujar Ketua DPC Partai Gerindra Badung ini, dengan tegas kepada PancarPOS.com, Jumat (7/2/2025).

Disel Astawa menegaskan bahwa tanpa penyandingan antara pembangunan dan adat, serta tanpa melibatkan masyarakat desa dalam pengawasan, maka pembangunan tersebut tidak akan pernah dapat menjaga keseimbangan alam dan budaya Bali. “OSS ini jelas tidak memandang aspek penyandingan dengan adat dan lingkungan. Pembangunan yang terlepas dari nilai-nilai Tri Hita Karana hanya akan membawa kerusakan. Itu sebabnya kita harus memperjuangkan agar sistem ini tidak diterapkan di Bali,” lanjutnya dengan semangat membara.
Dalam pandangannya, kehadiran para investor asing, terutama wisatawan mancanegara yang membangun properti tanpa memahami aturan adat setempat, menjadi semakin meresahkan. “Banyak warga asing yang mendapat izin melalui OSS, namun mereka sama sekali tidak mematuhi aturan adat desa. Mereka datang dan membangun tanpa rasa hormat kepada budaya Bali. Pemerintah desa pun cenderung tutup mata terhadap masalah ini,” kata Disel Astawa dengan nada kecewa.

Bali, yang selama ini dikenal sebagai pulau dengan kekayaan budaya dan alam yang sangat dijaga, kini berada di ujung tanduk. Di tengah maraknya pembangunan, prinsip Tri Hita Karana yang sudah lama dijunjung tinggi di Bali mulai kabur. Dengan adanya kebijakan Omnibus Law yang turut mendukung penerapan OSS, semakin memperburuk kondisi. “Konsep Tri Hita Karana yang kita junjung selama ini telah tergerus. Omnibus Law yang mengizinkan sistem OSS ini sangat tidak sesuai dengan karakteristik Bali. Pembangunan tanpa mempertimbangkan keseimbangan antara alam, budaya, dan manusia akan membawa kehancuran bagi Pulau Dewata,” ujar Disel Astawa.
Melihat kenyataan ini, Wakil Ketua DPRD Bali ini mengajak seluruh elemen masyarakat Bali untuk bersatu padu melawan sistem OSS yang merusak tatanan adat dan budaya Bali. “Mari kita seiya sekata sebagai sebuah kekuatan, berjuang bersama-sama untuk mengawal Bali agar tidak hancur. Kita harus tegaskan bahwa di Bali, Tri Hita Karana adalah konsep yang tak bisa diganggu gugat. Pembangunan harus selalu mengedepankan keseimbangan, bukan hanya mengejar keuntungan,” serunya dengan penuh semangat.

Sementara itu, sejumlah tokoh adat dan masyarakat Bali juga mulai mengingatkan pentingnya peran kelian adat dan kelian dinas desa dalam menjaga dan mengatur pembangunan. “Pembangunan harus tetap memperhatikan ketatnya pengawasan dari pihak desa. Dengan begitu, kita bisa menjaga Bali tetap pada jalurnya, sesuai dengan nilai-nilai yang sudah diwariskan nenek moyang kita,” ujar Disel Astawa.
Di tengah kontroversi ini, Bali kini menantikan langkah selanjutnya dari pemerintah pusat. Jika sistem OSS terus dibiarkan berlaku tanpa penyesuaian dengan budaya dan adat Bali, masa depan Bali sebagai destinasi budaya yang kaya akan kearifan lokal bisa terancam. Akankah Bali tetap teguh pada prinsip Tri Hita Karana, ataukah sistem modern yang mengabaikan nilai-nilai lokal akan terus menggerusnya? Hanya waktu yang akan menjawab. ama/ksm
