Polemik Kebijakan Makan Bergizi Gratis

Denpasar, PancarPOS | Keriuhan berbagai kalangan tidak terhindarkan ketika program unggulan pemerintahan Prabowo-Gibran yaitu Makan Bergizi Gratis (MBG) akhirnya benar-benar dilaksanakan. Berbagai pihak memberikan respon yang beragam, dari yang bernada pesimis, mengkhawatirkan kebersihan makanan yang disajikan, menyangsikan kapasitas penyedia makanan, keamanan pola distribusi, kandungan gizi yang terkandung pada makanan, keterbatasan bahan makanan yang berkualitas, hingga kecurigaan bahwa program ini didesign untuk menguntungkan pihak tertentu. Bahkan juga muncul ketersinggungan dari beberapa kalangan, mereka menilai MBG sebagai wujud penghinaan pemerintah terhadap masyarakat. Namun tidak sedikit kalangan yang memberikan respon positif dan optimis menyambut pemberian MBG. Sebagai akademisi, begitu kuatnya panggilan untuk turut serta menyampaikan pandangan dari berbagai perspektif, dengan harapan dapat memberikan keberimbangan informasi dengan memberikan pandangan dari perspektif akademis bagi masyarakat sebagai penerima manfaat, pemerintah sebagai inisiator program, pihak swasta dan stakeholder lainnya.

Program MBG ini dikelola secara resmi oleh Badan Gizi Nasional (BGN) sebagai lembaga pemerintah yang dibentuk oleh Presiden untuk melaksanakan tugas pemenuhan gizi nasional. Jadi lembaga ini merupakan lembaga pemerintah, berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden langsung yang terbentuk melalui Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun 2024. Keseriusan pemerintah dalam mengelola program ini kemudian ditindaklanjuti dengan terbitnya Petunjuk Teknis Penyelenggaraan Bantuan Pemerintah untuk Program Makan Bergizi Gratis Tahun Anggaran 2025. Program MBG merupakan produk kebijakan publik yang memiliki beberapa komponen seperti; tujuan kebijakan, sasaran serta cara untuk mencapai sasaran tersebut. Secara umum peluncuran program MBG dilatarbelakangi oleh kajian yang komprehensif, bahwa pemenuhan gizi secara nasional di Indonesia saat ini masih menjadi masalah yang serius.
Meskipun telah mencapai kemajuan ekonomi dan kesejahteraan, Indonesia masih menghadapi triple burden of malnutrition seperti gizi kurang, gizi lebih dan defisiensi mikro (hasil Riskesdas, 2018). Angka stunting dan gizi buruk yang cukup tinggi, masih menjadi atensi khusus di Indonesia, yang dapat menghambat pertumbuhan fisik dan kognitif anak-anak. Maka dalam rangka penyiapan Generasi Emas 2045, pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM) berkualitas menjadi hal yang sangat penting. Kualitas SDM tentunya memperhatikan kapasitas intelektual, ketrampilan, kesehatan fisik dan mental individu, yang semuanya dipengaruhi oleh pola makan dan status gizi. Sasaran dari program MBG terbagi atas peserta didik (PAUD, pendidikan dasar, menengah di lingkungan pendidikan umum, kejuruan, keagamaan, pendidikan khusus, pendidikan layanan khusus dan pendidikan pesantren), balita, ibu hamil dan ibu menyusui. Berbagai pertanyaan tentu bergelayut di benak masyarakat, seperti; siapa yang akan menyediakan MBG ini, bagaimana dengan kondisi daerah terpencil siapa yang akan menyediakan makanannya, apakah semua peserta didik bisa mendapatkan MBG, apakah sekolah-sekolah internasional yang siswanya dari kalangan menengah ke atas juga akan mendapatkan. Mari satu persatu kita bahas, pertama pengelola MBG adalah SPPG (Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi yang akan melayani lebih kurang 3.000 sampai 4.000 peserta didik dan non didik. Jadi SPPG semacam dapur penyedia MBG, mereka bertugas menyediakan makan pagi dan makan siang, makan pagi rentang waktunya Pkl. 06.00 smp 09.00 sesuai waktu setempat, makan siang rentang waktunya Pkl. 11.00 smp 14.00 kepada kelompok sasaran.

Penyiapan MBG oleh SPPG dilakukan secara bertahap, bulan Januari-Pebruari 2025 disiapkan MBG sebanyak 500-937 di SPPG, di 2.000 SPPG (April 2025) dan di 5.000 SPPG (Juli 2025), tersebar di 38 Provinsi di Indonesia. Lalu bagaimana metode pembagian MBG ini; siswa TK/PAUD mendapatkan makan pagi, siswa kelas 1-3 mendapat makan pagi, siswa kelas 4-6 mendapat makan siang, SMP mendapat makan siang, SMA mendapatkan makan siang, sedangkan untuk siswa SLB mengikuti kebutuhan gizi sesuai kelompok usianya. Peserta didik mendapatkan MBG setiap hari sekolah (senin-jumat) dibagikan pada waktu istirahat, sedangkan non perserta didik; ibu hamil, menyusui dan anak balita mendapat makan siang setiap 2 hari sekali. Pembangunan SPPG minimal 1 SPPG di setiap kabupaten/kota, berdasarkan geospasial titik SPPG berada dalam radius 6 km atau waktu tempuh maksimal 30 menit dengan jumlah siswa 3.000-4.000. Skema tersebut diharapkan memenuhi kualitas makanan yang disajikan terjamin dari berbagai aspek. Secara detail petunjuk teknis tersebut bahkan mengatur mekanisme penyiapan hingga penyaluran MBG di tingkat SPPG. Sesungguhnya Program MBG yang dilaksanakan merupakan lompatan besar Indonesia untuk mencapai sasaran Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs), yang telah menjadi kesepakatan pemimpin dunia termasuk Indonesia.
Secara khusus MBG terhubung dengan pengurangan kemiskinan (SDGs1), kelaparan (SDGs2), kesehatan (SDGs3), pendidikan (SDGs4), kesetaraan gender (SDGs5), pertumbuhan ekonomi (SDGs8), pengurangan ketimpangan kesejahteraan (SDGs10, produksi dan konsumsi yang bertanggung jawab (SDGs13), dan penguatan kemitraan di antara pemangku kepentingan di dalam negara (SDGs17). Terkait sisi keilmuwan, pelaksanaan MBG pemanfaatan dananya harus memenuhi kaidah pengelolaan sesuai prinsip pelaksanaan pemerintahan yang baik (good governance) dan pemerintah yang bersih (clean government), maka pelaksanaan kegiatan harus: mentaati ketentuan peraturan perundang-undangan, 2) membebaskan diri dari praktek KKN, menjungjung tinggi keterbukaan informasi, transparansi dan demokratisasi dan memenuhi asas akuntabilitas. Tercantum pada juknis, ketersediaan bahan pangan dititik beratkan pada penggunaan bahan lokal dengan melibatkan unsur yang memproduksi bahan pangan seperti koperasi pertanian, peternakan, nelayan dan lainnya. Sirkulasi Ekonomi Desa (Circular Economy Village) menjadi salah satu blueprint narasi besar bidang ekonomi dan lingkungan di tingkat desa yang ingin diwujudkan pemerintah melalui MBG. Program ini diharapkan menciptakan lapangan kerja baru bidang pertanian, energi terbarukan, logistik dan penyediaan bahan dan pengolahan makanan.

Harapan besarnya, roda perekonomian di sektor usaha kecil semakin bergeliat. Secara sederhana penulis gambarkan, ketika kebutuhan ketersediaan telor, daging ayam, sayur mayur, buah untuk MBG meningkat, maka pihak penyedia akan membelinya ke pasar, warung, dan para pedagang tentunya akan membutuhkan pasokan yang lebih tinggi. Maka secara responsif masyarakat di sekitarnya akan mengusahakan dengan mengambil profesi sebagai peternak ayam, petani sayur, petani buah, berbagai bumbu dan lainnya. Sehingga mata pencaharian baru menjadi bertumbuh, masyarakat tergerak untuk berusaha di desa. Tidak menjadikan kota sebagai pusat mencari kerja, sebagaimana akibat urban bias yang terjadi selama ini.
Sunguh luar biasa dampak program ini jika berjalan ideal, agenda besar Indonesia dalam perbaikan gizi anak-anak, ibu hamil, ibu menyusui dan pengentasan kemiskinan ekstrim dapat teratasi. Jika dicermati dari jenis kebijakannya, maka MBG termasuk kebijakan substantif, prosedural dan distributif. Kebijakan Substantif menentukan yang akan dilakukan pemerintah, dengan mengalokasikan biaya, manfaat, keuntungan dan kerugian masyarakat, sedangkan Kebijakan Prosedural mengatur cara pelaksanaan kebijakan substantif, mengatur siapa yang berwenang mengambil tindakan. Program MBG juga digolongkan sebagai kebijakan distributif yang mengalokasikan manfaat atau pelayanan kepada masyarakat tertentu sebagai penerima dana publik. Mengingat dana yang dipergunakan membayai MBG bersumber dari keuangan negara sebagai dana publik. Setelah melakukan penelusuran teoritis, kini saatnya kita mencermati realitas yang telah terjadi selama sejak MBG direalisasikan tanggal 6 Januari 2025. Data yang tersaji ke publik menunjukkan belum semua provinsi dapat melaksanakan program tersebut, tercatat 31 provinsi telah merealisasikan MBG per tanggal 17 Januari 2025 dari 38 provinsi. Sedangkan di wilayah Provinsi Bali baru Kabupaten Jembrana yang melaksanakan, bahkan baru di satu kecamatan saja yaitu Kecamatan Negara yang menyasar 3.109 siswa dapurnya terletak di Desa Lateng. Sementara 8 kabupaten lainnya masih melakukan identifikasi alokasi anggaran, pelaksana kegiatan, menunggu petunjuk teknis dari pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota, mendata jumlah penerima khususnya siswa dan menyiapkan sarana prasarana yang diperlukan. Sebagai pembanding beragam fenomena juga sudah mewarnai program MBG yang terjadi di berbagai daerah, seperti keracunan siswa di Sukoharjo, keluhan omzet kantin yang menurun drastis, keluhan makanan yang tidak enak, bahkan di satu sekolah makanan dibagikan dengan model prasmanan sehingga menyita waktu belajar siswa. Prakteknya beberapa hal yang sudah dilakukan tidak sesuai juknis, seperti pemberian makanan yang disertai air mineral kemasan, menggunakan styrofoam box, yang pasti akan menghasilkan sampah yang sulit diurai.

Padahal dengan jelas juknis telah mengatur agar siswa membawa tumbler, sendok dan garpu sendiri dari rumah dan makanan disajikan menggunakan ompreng. Semoga keriuhan ini semakin berkurang, pemerintah bisa merealisasikan secara bertahap dan merata untuk semua daerah, dapat memenuhi keinginan para siswa yang sampai saat ini belum mendapatkan MBG. Segenap elemen memberikan dukungan positif, mari saatnya kita terapkan collaborative government, MBG sebagai program pemerintah mendapat dukungan keterlibatan optimal dari pihak swasta, masyarakat, media massa, akademisi dan pemerintah sendiri sesuai potensinya maing-masing dengan model Pentahelix. ***
Oleh: Dr. Ni Wayan Widhiasthini, S. Sos., M. Si. (Akademisi UNDIKNAS University)
