Tajuk dan Suara Pembaca

Stop Stigma Terhadap Penderita Orang dengan Gangguan Jiwa (ODGJ)


Denpasar, PancarPOS | Rumah sakit sebagai salah satu sarana kesehatan yang memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat memiliki peran yang sangat strategis dalam mempercepat peningkatan derajat kesehatan masyarakat. Oleh karena itu, rumah sakit dituntut untuk memberikan pelayanan yang bermutu sesuai dengan standar yang ditetapkan dan dapat menjangkau seluruh lapisan masyarakat.

Rumah sakit dalam melaksanakan haknya tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan harus memperhatikan kepentingan pasien pula. Dalam Undang-Undang No 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit pada Pasal 4 dinyatakan bahwa rumah sakit bertugas untuk memberikan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna. Oleh karena itu, rumah sakit mempunyai misi memberikan pelayanan kesehatan yang bermutu dan terjangkau kepada masyarakat agar meningkatkan derajat kesehatan masyarakat, termasuk penanganan pasien Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ). Tingginya angka prevalensi masalah kesehatan jiwa khususnya di Provinsi Bali melalui pelayanan kesehatan Rumah Sakit Jiwa Provinsi Bali yang berada di Kabupaten Bangli, sudah seharusnya penjadi perhatian bagi kita semua khususnya yang bergerak dalam upaya kesehatan jiwa dengan menyadari bahwa mengatasi masalah kesehatan jiwa sangat diperlukan kerjasama dan kerja keras lintas sektoral maupun lintas program.

Tak ada orang yang ingin hidup dengan kondisi mental terganggu. Hal ini harusnya disadari oleh mereka yang memiliki saudara atau kerabat, teman dekat dengan kondisi mental yang tak seperti pada umumnya. Penderita ODGJ seringkali seolah menjadi momok yang menakutkan. Padahal, kita sebagai manusia mestinya  memiliki rasa empati dan peduli, bukan mengucilkan, tetapi perlu cara dalam menghadapi dengan memberikan perlakuan yang tepat untuk mereka. Orang dengan kondisi seperti itu bukanlah keinginan, melainkan karena berbagai macam penyebab. Menghadapi orang dengan gangguan jiwa memang tidak bisa sembarangan. Penyakit gangguan mental atau seringkali disebut penyakit gangguan jiwa adalah merupakan penyakit yang mempengaruhi otak dan mengganggu keseimbangan kimiawi. Begitu berat penyakit gangguan mental yang diderita, kerap mengalami gejala psikosis yang membuat resah dan jarang membuat malu keluarga, ketika mencapai puncaknya, tanpa pengetahuan yang memadai, bukannya di bawa ke rumah sakit tapi dibawa ke semacam rumah peristirahatan bagi orang-orang yang mengalami luka batin yang dikelola oleh si penderita. Di tempat tersebut diberikan religi dan spiritual disertai obat-obatan namun tak dilakukan diagnosa yang cermat dan mendalam dokter ahli jiwa.

Masalah ODGJ adalah orang yang mengalami gangguan dalam pikiran, perilaku dan perasaan yang termanifestasi dalam bentuk sekumpulan gejala dan/atau perubahan perilaku yang bermakna, serta dapat menimbulkan penderitaan dan hambatan dalam menjalankan fungsi sosialnya sebagai manusia.  Upaya pemulihan ODGJ tentu membutuhkan biaya agar mendapatkan perawatan kesehatan mental. Namun bagi masyarakat yang ekonominya lemah, jika anggota keluarganya mengalami gangguan jiwa, anggota keluarganya tersebut biasanya diobati dengan metode pengobatan kearifan lokal bukan kepada professional kesehatan jiwa dan jika kondisinya semakin parah kemudian dibiarkan atau bahkan ditelantarkan. Penderita ODGJ masih mendapat stigma yang sangat kuat ditengah masyarakat, apalagi penderita ODGJ sudah dinyatakan sembuh atau diperbolehkan pulang dari rumah sakit. Stigma merupakan label negatif yang melekat pada seseorang yang diberikan oleh masyarakat. Stigma yang kuat ini dapat memperparah gangguan jiwa yang dialami serta menghambat penyembuhan penderita ODGJ.  Kita seharusnya merasa prihatin saat mendengar berbagai stigma yang masih sering dialami oleh anggota masyarakat yang dinilai berbeda oleh masyarakat pada umumnya, termasuk pada penderita ODGJ, antara lain dikeluarkan dari sekolah, diberhentikan dari pekerjaan, diceraikan oleh pasangan, hingga ditelantarkan oleh keluarga, bahkan dipasung, serta dirampas harta bendanya.

Melalui tulisan ini, kita mengajak seluruh jajaran kesehatan untuk segera dapat melaksanakan Empat Seruan Nasional “Stop Stigma” terhadap penderita ODGJ, yaitu: 1) Tidak melakukan stigmatisasi dan diskriminasi kepada siapapun juga dalam pelayanan kesehatan; 2) Tidak melakukan penolakan atau menunjukkan keengganan untuk memberikan pelayanan kesehatan kepada ODGJ; 3) Senantiasa memberikan akses masyarakat pada pelayanan kesehatan, baik akses pemeriksaan, pengobatan, rehabilitasi maupun reintegrasi ke masyarakat pasca perawatan di rumah sakit jiwa atau di panti sosial; serta 4) Melakukan berbagai upaya promotif dan preventif untuk mencegah terjadinya masalah kejiwaan, mencegah timbulnya dan/atau kambuhnya gangguan jiwa, meminimalisasi faktor risiko masalah kesehatan jiwa, serta mencegah timbulnya dampak psikososial.

Untuk menyikapi masalah kesehatan jiwa di Indonesia, Pemerintah dan masyarakat telah melakukan upaya-upaya, antara lain: 1) Menerapkan sistem pelayanan kesehatan jiwa yang komprehensif, terintegrasi, dan berkesinambungan di masyarakat; 2) Menyediakan sarana, prasarana dan sumberdaya yang diperlukan untuk pelayanan kesehatan jiwa di seluruh wilayah Indonesia, termasuk obat, alat kesehatan dan tenaga kesehatan dan non-kesehatan terlatih; 3) Menggerakkan masyarakat untuk melakukan upaya preventif dan promotif serta deteksi dini gangguan jiwa dan melakukan upaya rehabilitasi serta reintegrasi OGDJ ke masyarakat. Disamping itu, Wakil Direktur Pelayanan RS Jiwa Provinsi Bali dr. Komang Rai Mulyawan, M.Kes. menyatakan sebagai upaya lain yang tidak kalah pentingnya adalah Pemberdayaan ODGJ, seperti yang dilakukan pada pelayanan Instalasi Rehabilitasi Psikososial setelah menjalani proses rawat inap, melalui inovasi RS Jiwa Provinsi Bali yaitu Rehabilitasi Psikososial Berbasis Budaya yang bertujuan agar penderita ODGJ dapat hidup mandiri, produktif dan percaya diri di tengah masyarakat (resosialisasi), bebas dari stigma, diskriminasi atau rasa takut, malu serta ragu-ragu dan sudah tentu upaya ini sangat ditentukan juga oleh kepedulian keluarga dan masyarakat di sekitarnya.

Sebagaimana peraturan yang ada bahwa rumah sakit bertanggung jawab pada pasien (patient safety). Menurut Undang-undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, Pasal 29 Ayat 1, pengaturan kewajiban rumah sakit bertujuan untuk: Melaksanakan fungsi sosial antara lain dengan memberikan fasilitas pelayanan pasien yang tidak mampu/miskin, pelayanan gawat darurat tanpa uang muka, ambulan gratis, pelayanan korban bencana dan kejadian luar biasa, atau bakti sosial bagi kemanusiaan. Pada Pasal 31 Undang-Undang No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit yang menyatakan dalam keadaan darurat, fasilitas pelayanan kesehatan, baik pemerintah maupun swasta, wajib memberikan pelayanan kesehatan bagi penyelamatan nyawa pasien dan pencegahan kecacatan terlebih dahulu. Dalam keadaan darurat, fasilitas pelayanan kesehatan, baik pemerintah maupun swasta dilarang menolak pasien dan/atau meminta uang muka apalagi kepada pasien ODGJ. Berkaitan dengan hal tersebut, kita mengharapkan agar seluruh jajaran Pemerintah dan lapisan masyarakat, termasuk tokoh agama, tokoh adat, tokoh masyarakat, organisasi masyarakat, organisasi profesi dan dunia usaha serta swasta, dapat mendukung upaya Pemerintah dalam memberikan pelayanan kesehatan jiwa terbaik kepada Masyarakat. “Stigmatisasi dan diskriminasi terhadap siapa pun juga harus dihapuskan dari bumi Indonesia karena bertentangan dengan hak asasi manusia dan berdampak pada munculnya berbagai masalah sosial, ekonomi dan keamanan di masyarakat”, ***

Oleh: Wadir Pelayanan RS Jiwa Provinsi Bali, dr. Komang Rai Mulyawan, M.Kes.

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan


Back to top button
Website is Protected by WordPress Protection from eDarpan.com.