Regresif Budaya Adat Bali Akibat Pengkultusan Wisatawan Asing

Denpasar, PancarPOS | Pemilihan kata “regresif” pada judul merupakan suatu peristilahan yang digunakan oleh penulis dalam menggambarkan hal yang bersifat yang akan datang atau dalam bahasa latin disebut dengan “feturum tempus”. Oleh karena itu dapat ditegaskan bahwa regresif tidak memperlihatkan apa yang terjadi saat ini akan tetapi tulisan ini menjadi refleksi untuk melihat apa yang terjadi di masa yang akan datang dalam fenomena dalam tulisan ini.
Beberapa tahun terkahir Pulai Bali ramai dibicarakan baik melalui media sosial ataupun portal berita dalam lingkup nasional dan internasional. Akan tetapi berita tentang Bali lebih kepada pemberintaan yang bersifat negative dengan isu-isu yang tidak lepas dari isu kepariwisataan dengan kompleksitas wisatawannya. Masih hangat di awal tahun 2025 tepatnya pada tanggal 20 Januari 2025, Pemerintah Kabupaten Gianyar, Bali, melalui Satpol PP menutup dan membubarkan Parq Ubud atau yang dikenal dengan Kampung Rusia. Melihat kebelakang di tahun 2024 terdebar isu wilayah yang disebut “new Moscow” di wilayah Canggu yang dimana Canggu saat ini memang menjadi salah satu tempat favorit wisatawan asing. Di tahun yang sama juga terdapat isu yang memberitakan bahwa warga negara asing yang membuka jasa rental motor bahkan sampai dengan memberikan jasa privat mengemudi motor kepada wisatawan. Fenomena di atas tentunya dipengaruhi oleh massifnya jumlah wisatawan asing yang datang ke Bali, dimana para wisatawan yang pada awalnya sebagai wisatawan biasa dapat mengubah agendanya menjadi wisata bisnis dengan melihat ladang basah yang dapat memberikan keuntungan baginya, maka terjadilah fenomena di atas. Melihat fenomena di atas, maka tidak menutup kemungkinan Pulau Bali dengan budaya adat yang berbasis Agama Hindu akan berubah menjadi budaya adat Russia. Belum lagi permasalahan pada konteks jasa transportasi pariwisata khususnya taxi online yang menuai protes dengan regulasi yang menerima semua KTP untuk dapat menjadi driver taxi online, yang dimana hal ini akan menjadi butterfly effect dikemudian hari dengan maraknya driver-driver taxi online di Bali melakukan tindakan kriminal ataupun terjadinya pelecehan budaya adat Bali kepada wisatawan asing dikarenakan kurangnya pemahaman dari pihak driver itu sendiri tentang budaya adat Bali.
Melihat peristiwa di atas, maka akan timbul pertanyaan-pertanyaan ada apa Bali baik-baik saja? apakah Bali tetap damai/shanti? Apakah Bali menjadi lebih baik? Pertanyaan-pertanyaan sederhana di atas merupakan riak-riak kecil yang sering terjadi pada lingkup sosial maupaun dunia maya saat ini. Jika mengulas permasalahan di atas maka dapat dilakukan dari berbagai macam sudut pandang, akan tetapi penulis akan lebih berfokus pada aspek hukum kepariwisataan dan juga hukum adat Bali. Berbicara hukum adat Bali dengan kaitannya terhadap permasalahan wisatawan yang begitu kompleks tidak lepas dari budaya dari masyarakat adat Bali yang menganut paham pawongan dalam pahan Tri Hita Karana (THK) dalam penerapan kehidupannya sehari-hari. Pawongan berarti menjalin hubungan yang harmonis antara manusia dengan manusia lainnya. Paham Pawongan apabila merujuk pada penjelasan dari Wayan P. Windia, termasuk dalam salah satu tiga keranga dasar Agama Hindu di Bali yaitu Tatva. Wujud praktik dari paham Pawongan yaitu tingkah laku yang berpedoman dengan aspek Susila atau lebih dikenal dengan Etika Hindu. Wayan P. Windia secara serius mengulas aspek Etika Hindu yang diserap melalui ajaran Tri Kaya Parisuda (tiga perbuatan baik) yang terdiri dari manacika (pikiran baik), wacika (perkataan baik), dan kayika (perbuatan baik). Etika Hindu juga merujuk pada sifat Tat Tvam Asi yang berarti saling menyayangi dan menghormati. Paham Etika Hindu ini tertanam dan mandarah daging secara turun temurun oleh masyarakat adat Bali yang terwujud sebagai budaya Bali yaitu sikap ramah tamah yang menjadi daya tarik utama bagi wisatawan asing pada saat melakukan kegiatan wisata di Bali. Sederhananya daya tarik wisata di Bali tidak luput dari unsur budaya Bali yang berbasiskan Agama Hindu, dimana Agama Hindu yang menjaga tata krama masyarakat Bali agar tetap menjaga budayanya dalam hal ini buadaya keramahan yang menjadi inti pelaksanaan kepariwisataan di Bali.
Susila menjadi salah satu sorotan utama dalam memperlihatkan identitas masyarakat adat Bali, hal ini dapat dilihat dalam definisi desa adat pada Pasal 1 angka 8 Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 4 Tahun 2019 yang menegaskan bahwa masyarakat hukum adat di Bali merupakan masyarakat yang hidup berdasarkan tata krama pergaulan hidup masyarakat secara turun temurun. Dapat dilihat bahwa paham filosofis Susila dalam payung Pawongan sangat kuat mencirikakn sikap dan perbuatan masyarakat adat Bali yang sangat ramah kepada setiap orang. Sikap ramah tamah inilah yang menjadi daya tarik wisatawan asing untuk datang ke Bali atau dapat dikatakan bahwa keramahan masyarakat adat Bali menjadi gerbang pembuka wisatawan untuk datang ke Bali yang berujung pada terjadinya pariwisata massal atau dapat disebut sebagai mass tourism. Pariwisata massal ini dapat terjadi secara bertahap ataupun instan jika ada pengaruh kuat dari media sosial, akan tetapi hal yang dapat ditegaskan bahwa dengan adanya pariwisata massal yang terjadi maka adanya peningkatan nilai ekonomi diwilayah yang menjadi tempat destinasi wisata terkait. Dampak dari banyaknya wisatawan yang datang maka akan melahirkan pemikiran-pemikiran kapitalis dalam ranah lokal. dimana pemikiran kapitalis untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya dari industri pariwisata ini secara tidak langsung mengundang para kapitalis asing untuk datang dan ikut berinvestasi di Bali, dengan demikian proses pengkultusan wisatawan asing akan semakin radikal dengan adiksi akan kebutuhan wisatawan asing yang diharapkan selalu datang berbondong-bondong ke Bali.
Pernyataan di atas bukanlah suatu hal yang tabu, masih teringat dibanak masyarakat Bali pada tahun 2020 dibuat sengsara dengan adanya pandemi covid-19. Banyak masyarakat yang mengalami pemutusan hubungan kerja dan menjadi penganguran terbuka. Pengkultusan wisatawan asing ini memiliki dampak yang kuat terhadap situasi industri pariwisata di Bali. Dollar menjadi fokus utama dalam pelaksanaan pariwisata, hal ini yang yang menjadi akar permasalahan sampai terjadinya isu-isu pariwisata yang telah disampaikan di awal tulisan ini. Kapitalis asing melihat celah untuk dapat meraup keuntungan dalam industri pariwisata di Bali dengan modal dollar yang lebih kuat. Dengan mulainya para wisatawan asing yang bertransformasi menjadi para kapitalis asing untuk membuka usaha pariwisata, ditambah arah industri pariwisata di Bali lebih mengkultuskan wisatawan asing atau dollar maka terjadilah pariwisata massal dengan permasalahan-permasalahan yang kompleks mengikuti dibelakangnya. Dampak-dampak dari pariwisata massal ini tidak dapat dianggap sepele karena akan menjadi suatu regresif budaya adat Bali yang selama ini menajdi identitas Pulau Bali. Selain itu, apabila pola berpikir pelaku pariwisata di Bali masih menjadikan dollar sebagai prioritas maka tidak menutup kemungkinan akan terjadi gentrifikasi dan mengakibatkan hak-hak penguasaan tanah dan wilayah masyarakat adat Bali karena dikuasai oleh oknum-oknum kapitalis asing. Sesungguhnya isu-isu pada topik di atas hendaknya dapat diselesaikan secara “grassroot” yang berarti bisa dimulai dari masyarakat adat itu sendiri sebagai pihak yang berinteraksi langsung dan tuan rumah di wilayah-wilayah yang memiliki potensi sebagai destinasi pariwisata. Oleh karena itu penulis mencoba memberikan kesadaran bagi para pelaku pariwisata khususnya masyarakat adat Bali melalui konsep-konsep yang hidup di sekitar masyarakat adat Bali seperti salah satunya konsep swadharma krama desa.
Konsep swadharma krama desa adat memberikan tanggung jawab bagi masing-masing penduduk sesuai dengan statusnya. Dalam konteks ini tentunya yang akan diulas adalah penduduk yang berstatus krama desa adat atau masyarakat adat Bali. swadharma berarti tanggung jawab, dimana dalam suatu tanggung jawab terdapat hak yang dalam hukum adat Bali disebut dengan swadikara. Dalam konsep swadharma dan swadikara atau dapat disebut tanggung jawab dan hak dari masyarakat adat Bali meliputi tiga bidang yang sesuai dengan desa adat di Bali yaitu: (1) Tanggung jawab dan hak dalam hal aktivitas keagamaan sesuai dengan hukum adat dan Agama Hindu (parahyangan), (2) Tanggung jawab dan hak terhadap sosial dan kemasyarakatan yang dilakukan berdasarkan hukum adat Bali dan Agama Hindu (pawongan), dan (3) Tanggung jawab dan hak terhadap lingkungan alam diwilayah desa adat dengan segala aktivitasnya yang sesuai dengan hukum adat Bali dan Agama Hindu (palemahan). Dalam ulasannya Wayan P. Windia menegaskan prinsip swadharma krama desa adat merupakan tanggung jawab yang ditujukan kepada keluarga dan leluhuru serta kepada desa adat sesuai denan hukum adat Bali yang dituangkan dalam awig-awig (undang-undang dalam hukum adat Bali) dan/atau perarem yang berlaku di masing-masing desa adat.
Prinsip swadharma krama desa adat ini harusnya diresapi oleh setiap element masyarakat adat di Bali, dimana denan tumbuhnya rasa tanggung jawab dan hak untuk menjaga Pulau Bali maka harusnya bisa mencegah sikap yang bersifat inferior dihadapan para kapitalis asing dan juga wisatawan asing yang ingin mengesampingkan keberadaan masyarakat adat di Bali. Sikap fundamentalis di atas sangat penting diterapkan guna mewujudkan pariwisata yang berkelanjutan di Bali. Apabila pelaku pariwisata di Bali dan juga masyarakat adat Bali hanya berfokus pada aspek ekonomi melalui pengkultusan kepada wisatawan asing secara gila-gilaan, maka hanya akan menunggu waktu untuk melihat regresif budaya adat Bali yang menghilangkan identitas budaya Bali dan pada akhirnya akan menghancurkan pariwisata budaya Bali itu sendiri. Sikap tanggung jawab dalam nilai-nilai pada prinsip swadharma ini tentunya tidak diimplementasikan oleh masyarakat adat Bali secara radikal atau sampai menciptkan sikap self-determination yang bertentangan dengan prinsip-prinsip negara Indonesia. Setidaknya dengan pemahaman akan swadharma krama desa adat ini masyarakat adat Bali secara persuasive memiliki daya tawar untuk dapat memastikan hak-hak penuasaan dalam menjalin kerjasama dalam suatu bisnis pariwisata. Apabila terjadi permasalahan-permasalahan wisatawan asing yang merugikan dan menggangu keseimbangan desa adat maka masyarakat adat melalui perangkat desa dapat bertindak sesuai dengan kapasitas kewenangan lokalnya dengan kesadaran hukum sebagaimana yang ada dalam ketentuan perda desa adat tahun 2019. Penjelasan di atas dapat dikatakan sebagai bentuk implementasi perlindungan hukum bagi masyarakat marjinal dengan memberikan kewenangan terbatas dalam melindungan hak-haknya.
Perlindungan hukum merupakan suatu upaya yang sangat fundamental dan penting dilakukan oleh setiap negara hukum. Apabila melihat dari ulasan Satjipto Rahardjo dalam bukunya yang berjudul Ilmu Hukum bahwa “Hukum melindungan kepentingan seseorang dengan cara mengalokasikan sesuatu kekuasaan kepadanya untuk bertindak dalam rangka kepentingannya tersebut”. Akan tetapi pengalokasian kekuasaan ini tentunya tidak dilakukan secara gegabah, Satjipto Rahardjo menegaskan bahwa pengalokasian kekuasaan ini hendaknya dilakukan secara terukur yang berarti kekuasaan ini ditentukan keleluasaan dan lingkupnya. Pertanyaannya siapa yang memberikan perlindungan hukum itu sendiri? Dalam hal ini tentu dapat dinyatakan secara sederhana adalah pemerintah sebagai representative negara memberikan perlindungan hukum melalui ketentuan hukum yang sudah dibuat oleh pihak legislative maupun eksekutif dan juga sudah diundangkan. Berkaitan dengan topik dalam tulisan ini tentunya perlu adanya upaya preventif melalui regulasi atau pengaturan yang tegas dalam industri pariwisata yang bersifat berkelanjutan guna mewujudkan keseimbangan antara masyarakat adat, pemerintah, wisatawan, dan pelaku usaha pariwisata. Sampai saat ini bentuk keseimbangan pariwisata berkelanjutan dalam regulasi kepariwisataan di Indonesia masih belum jelas sebagaimana yang ada dalam Undang-Undang Nomor 10 tahun 2009. Sebagai contoh dalam Pasal 19 Ayat (2) yang lebih mencerminkan aspek ekonomi dibandingkan hak-hak masyarakat adat dan juga perlindungan terhadap lingkungan alam. Selain itu dalam hal pertanahan, sampai saat ini masih belum adanya regulasi yang menentukan mengenai pembatasan harga tanah. Campur tangan pemerintah dalam transaksi jual beli tanah ini penting guna menjaga kestabilan harga tanah agar tidak terjadinya gentrifikasi yang merugikan masyarakat adat.
Bentuk perlindungan hukum sebagaimana di ulas di atas, menjadi salah satu upaya penguatan dalam pembangunan pariwisata berbasis kolaborasi atau dikenal dengan “collaboration-based development tourism”. Apabila meminjam pemikiran Graham Martin and Mary Dixon-Woods yang menggunakan pendekatan kolaborasi dalam aktivitas pelayanan kesahatan, dimana dalam ulasannya yang dapat dikutip bahwa:
“Collaboratives typically focus on a specific clinical topic (such as a presenting condition, pathway, or intervention) – often one in which large variations in care or gaps between current and best practice are known to exist. They involve creating a network of people from several organisations (or occasionally within organisations) and multi-professional teams around defined improvement goals”
Pendekatan kolaborasi dalam pembangunan kepariwisataan menjadi suatu hal yang ideal dewasa ini. Melihat penjelasan di atas bahwa pendekatan kolaborasi mengacu pada penguatan jaringan antar kelompok masyarakat adan juga pihak-pihak professional termasuk pemerintah. Pendekatan ini tentunya dirancang tidak hanya untuk meningkatkan kualitas pariwisata di Bali akan tetapi juga demi mewujudkan keseimbangan antara ekologi, ekonomi, dan sosial budaya dalam aktivitas pariwisata. Dimana pendekatan kolaborasi ini akan dapat berjalan lancar dan semakin kuat apabila adanya harmonisasi dan sinkronisasi pengaturan dari tingkat pusat sampai dengan desa termasuk dalam peraturan desa adat di Bali atau yang dikenal dengan awig-awig. Melalui penguatan pembangunan kolaborasi dalam pelaksanaan kepariwisataan maka niscaya regresif budaya adat Bali tidak akan terjadi dikarenakan adanya upaya pendorong inovasi dan daya saing di dalam pelaksanaan kepariwisataan di Bali. Selain itu pendekatan kolaboratif ini juga diharapkan tidak berhenti pada tahap regulasis atau kebijakan saja akan tetapi adanya efektivitas penerapan kebijakan yang tersingkronisasi yang salah satunya adalah pemberdayaan masyarakat adat dalam industri pariwisata melalui pemanfaatan lembaga-lembaga Pendidikan pariwisata. Lembaga Pendidikan pariwisata di Bali hendaknya tidak hanya berfokus pada induksi persuasive kepada masyarakat Bali dalam menjanjikan tenaga pariwisata yang siap bersaing dan bekerja di luar negeri. Paham di atas menjadi salah satu kesalahan dalam dunia Pendidikan pariwisata di Indonesia khususnya di Bali dewasa ini. Hendaknya lembaga Pendidikan pariwisata berfokus pada mempersiapkan masyarakat daerah agar siap sebagai pelaku pariwisata baik sebagai pengusaha pariwisata (entrepreneur) atau sebagai pekerja pariwisata untuk daerah Bali. Selain itu perlu adanya upaya perubahan paradigma dalam praktik hospitality yang perlu diperhatikan oleh para stakeholder pariwisata yaitu penguatan pariwisata domestic antar daerah. Dimana pariwisata domestic sesungguhnya menjadi suatu hal yang penting guna mewujudkan kepariwisataan yang berkelanjutan. Oleh kareannya fokus utama kepariwisataan tidak hanya kepada penguatan dollar akan tetapi rupiah. Hal di atas perlu menjadi perhatian bagi seluruh pemangku kepentingan pariwisata, khususnya masyarakat adat di Bali.
Khusus untuk Provinsi Bali, sesunguhnya sudah perlu untuk pemerintah daerah untuk lebih berfokus dalam pemberdayaan dan pemerataan kepariwisataan agar adanya keseimbangan industri pariwisata dan tidak tercentral pada satu kabupaten. Hal ini agar dapat memecah adanya pariwisata massal yang dapat menggangu keseimbangan dan juga keseimbangan desa adat di Bali. Selain itu Bali sudah saatnya lebih mulai untuk berani ke arah pembangunan pariwisata yang berbasis komunitas adat atau disebut sebagai “community-based development tourism”. Tentunya pelaksanaan ini butuh proses dan juga tantangan yang bersifat kompleks. Akan tetapi satu hal yang perlu diperhatikan bahwa hanya masyarakat adat yang tau akan daerahnya dan bertanggung jawab akan wilayah, serta warisan budayanya. Sesungguhnya arah menuju pariwisata berbasis komunitas bisa dilaksanakan jika merujuk pada kesuksesan desa-desa adat yang mengelola destinasi pariwisata terkenal seperti Monkey Forrest Ubud, Pantai Pandawa, dan Tenganan Pegringsingan. Namun kembali lagi orientasi pelaksanaan kepariwisataan tidak boleh tertuju pada satu aspek seperti ekonomi akan tetapi perlu memperhatikan aspek lainnya seperti ekologi, dan sosial budaya. Dimana hal ini harus dimulai dari campur tangan pemerintah dalam mengedukasi dan juga pemberdayaan.
Penguatan pariwisata berbasis kebudayaan ini penting diperhatikan yang dimulai dari adanya regulasi. Akan tetapi upaya kesadaran hukum dalam praktik pariwisata oleh pemangku kepentingan masih terasa kurang efektif apabila melihat permasalahan yang saat ini terjadi di Bali. Oleh karenanya sampai kapan Bali akan menjadi sapi perah pariwisata oleh kapitalis asing? Apakah menunggu adanya regresif kebudayaan Bali? Penulis berharap melalui tulisan yang bersifat preskriptif ini dapat berkontribusi dalam upaya menyadarkan seluruh pelaku pariwisata akan fakta pengkultusan wisatawan asing dalam industri pariwisata yang menuju pada arah regresif bagi kebudayaan dan adat istiadat di Bali dikemudian hari. ***
Oleh: Dr. Dewa Krisna Prasada, S.H., M.H., Fakultas Hukum, Universitas Pendidikan Nasional
