Penyesuaian Tarif PPN 1% pada 21 Desember 2024: Dampak, Kebijakan, dan Insentif Ekonomi
Jakarta, PancarPOS | Pada 21 Desember 2024, pemerintah Indonesia mengeluarkan keterangan tertulis terkait penyesuaian tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12%, yang akan berlaku pada 1 Januari 2025. Penyesuaian ini merupakan bagian dari kebijakan yang diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan dan bertujuan untuk meningkatkan penerimaan negara, mendukung pembangunan, serta menjaga stabilitas ekonomi. Berikut adalah rincian lengkap mengenai kebijakan dan insentif yang diberikan pemerintah terkait perubahan tarif PPN ini.
1. Kenaikan Tarif PPN: Tujuan dan Tahapan
Kenaikan tarif PPN dari 11% menjadi 12% adalah bagian dari kesepakatan antara pemerintah dan DPR untuk menerapkan kenaikan bertahap. Kenaikan pertama, dari 10% menjadi 11%, telah diterapkan pada 1 April 2022. Sementara itu, kenaikan kedua, dari 11% menjadi 12%, akan diterapkan pada 1 Januari 2025. Kenaikan tarif ini dilakukan secara bertahap untuk menghindari dampak yang terlalu besar terhadap daya beli masyarakat, inflasi, dan pertumbuhan ekonomi. Dalam rencana ini, pemerintah memperhitungkan bahwa kenaikan tarif PPN ini tidak akan mengurangi daya beli secara signifikan.
2. Barang dan Jasa Kebutuhan Pokok: Bebas PPN atau Tarif 0%
Meskipun tarif PPN secara umum naik, pemerintah tetap memberikan fasilitas pembebasan PPN atau tarif PPN 0% untuk barang dan jasa yang menjadi kebutuhan pokok masyarakat. Beberapa barang dan jasa yang tetap bebas PPN atau dikenakan tarif 0% adalah sebagai berikut:
Barang Kebutuhan Pokok: Beras, gabah, jagung, sagu, kedelai, garam, daging, telur, susu, buah-buahan, dan sayur-sayuran.
Jasa-Jasa: Pelayanan kesehatan medis, pelayanan sosial, jasa keuangan, asuransi, pendidikan, angkutan umum, tenaga kerja, dan persewaan rumah susun umum.
Barang Lainnya: Buku, kitab suci, vaksin polio, rumah sederhana, listrik, dan air minum.
Selain itu, pemerintah juga menyiapkan berbagai insentif PPN lainnya dengan total estimasi sekitar Rp265,6 triliun untuk tahun 2025.
3. Barang Tertentu Tidak Terkena Dampak Kenaikan PPN
Untuk barang-barang yang merupakan kebutuhan masyarakat luas, seperti minyak goreng curah “Kita”, tepung terigu, dan gula industri, pemerintah akan menanggung tambahan PPN sebesar 1% (PPN Ditanggung Pemerintah – DTP). Dengan kebijakan ini, harga ketiga jenis barang tersebut tidak akan terpengaruh oleh kenaikan tarif PPN.
4. Dampak Kenaikan PPN terhadap Harga Barang dan Jasa
Pemerintah meyakinkan bahwa kenaikan tarif PPN dari 11% menjadi 12% tidak akan berdampak signifikan terhadap harga barang dan jasa. Dalam ilustrasi yang diberikan, kenaikan tarif PPN hanya menyebabkan kenaikan harga sebesar 0,9% bagi konsumen. Dengan demikian, meskipun ada kenaikan tarif PPN, harga barang dan jasa yang dibeli masyarakat tidak akan mengalami lonjakan yang berarti.
5. PPN atas Uang Elektronik dan Dompet Digital
Salah satu isu yang sering dipertanyakan adalah terkait PPN atas uang elektronik dan dompet digital. Pemerintah menjelaskan bahwa jasa transaksi melalui uang elektronik dan dompet digital selama ini telah dikenakan PPN, sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 69/PMK.03/2022 tentang Pajak Penghasilan dan Pajak Pertambahan Nilai atas Penyelenggaraan Teknologi Finansial. PPN dihitung atas biaya jasa transaksi (seperti biaya top-up), bukan atas nilai top-up atau saldo yang dimasukkan ke dalam e-wallet.
Sebagai contoh, jika seseorang mengisi ulang (top-up) uang elektronik sebesar Rp1.000.000 dengan biaya top-up Rp1.500, maka PPN yang dikenakan dihitung atas biaya top-up tersebut. Dengan kenaikan tarif PPN dari 11% menjadi 12%, PPN hanya meningkat Rp15 (dari Rp165 menjadi Rp180).
6. QRIS dan Jasa Pembayaran: Tidak Ada PPN Baru
Pemerintah juga menegaskan bahwa transaksi menggunakan Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS) merupakan bagian dari Jasa Sistem Pembayaran, yang sudah dikenakan PPN sesuai dengan ketentuan yang ada. Pembayaran melalui QRIS tidak dikenakan PPN baru, karena pengenaan pajak tetap dikenakan pada Merchant Discount Rate (MDR), yaitu biaya yang dipungut oleh penyelenggara jasa sistem pembayaran dari pemilik merchant.
Sebagai contoh, jika seseorang membeli TV seharga Rp5.000.000 dan membayar dengan QRIS, PPN yang dikenakan tetap sebesar Rp550.000, dan tidak ada perbedaan harga, baik menggunakan QRIS maupun metode pembayaran lainnya.
7. Platform Digital dan Pajak atas Layanan Berlangganan
Pemerintah juga menekankan bahwa biaya berlangganan pada platform digital seperti Netflix, Spotify, dan YouTube Premium telah dikenakan PPN sesuai dengan ketentuan PMK 60/PMK.03/2022. Dengan kata lain, biaya berlangganan tersebut bukan merupakan objek pajak baru. Platform digital ini sudah ditunjuk sebagai pemungut PPN.
8. PPN atas Penjualan Pulsa dan Tiket
Untuk transaksi penjualan pulsa, kartu perdana, token, dan voucher, PPN sudah dipungut sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 6/PMK.03/2021. Oleh karena itu, penjualan pulsa dan produk serupa bukan merupakan objek pajak baru. Demikian pula dengan transaksi penjualan tiket konser musik atau tiket pesawat dalam negeri, yang dikenakan Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT) atau PPN, sesuai dengan regulasi yang berlaku.
9. Insentif Ekonomi untuk Kesejahteraan Masyarakat
Pemerintah juga telah menyiapkan berbagai paket insentif ekonomi untuk kesejahteraan masyarakat. Beberapa insentif yang disiapkan antara lain:
Bantuan Pangan: 16 juta keluarga penerima manfaat akan menerima 10 kg beras per bulan selama dua bulan pertama di tahun 2025.
Diskon PPN DTP: Untuk barang seperti tepung terigu, gula industri, dan minyak goreng “Kita” selama satu tahun.
Bantuan untuk UMKM: Pemerintah memperpanjang masa berlaku tarif PPh Final 0,5% bagi UMKM, serta memberikan insentif untuk sektor padat karya dan industri lainnya.
Total paket insentif ekonomi yang disiapkan untuk tahun 2025 mencapai Rp1.549,5 triliun, yang akan digunakan untuk mendukung sektor pendidikan, perlindungan sosial, kesehatan, ketahanan pangan, dan sektor-sektor lainnya.
10. Penerimaan Negara dan Penggunaan untuk Pembangunan
Pemerintah memperkirakan bahwa dengan kenaikan tarif PPN ini, penerimaan negara akan meningkat signifikan. Berdasarkan proyeksi, potensi penerimaan PPN dari penyesuaian tarif ini diperkirakan mencapai Rp75,29 triliun, yang akan digunakan untuk membiayai berbagai program pembangunan, seperti pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan masyarakat.
11. Tidak Ada Rencana Penurunan Batasan Omzet PKP
Pemerintah juga mengklarifikasi bahwa tidak ada rencana untuk menurunkan batasan omzet bagi pengusaha yang terdaftar sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP) dari Rp4,8 miliar menjadi Rp3,6 miliar. Hal ini sesuai dengan penjelasan yang diberikan oleh Menteri Koordinator Perekonomian pada konferensi pers 16 Desember 2024.
12. Pengenaan PPN atas Barang dan Jasa Premium
Pemerintah juga berencana untuk membahas pengenaan PPN atas barang kebutuhan pokok premium dan jasa kesehatan/pendidikan premium, yang akan dikenakan PPN hanya untuk kelompok masyarakat sangat mampu. Pembahasan lebih lanjut akan dilakukan untuk menentukan batasan barang/jasa yang dimaksud.
Dengan penyesuaian tarif PPN yang mulai berlaku pada 1 Januari 2025, pemerintah Indonesia berupaya memperkuat penerimaan negara untuk mendukung pembangunan dan kesejahteraan masyarakat. Pemerintah juga menyiapkan berbagai insentif ekonomi untuk melindungi kelompok masyarakat kurang mampu serta mendukung sektor-sektor penting seperti UMKM dan industri. Diharapkan, meskipun ada kenaikan tarif PPN, dampaknya terhadap daya beli masyarakat dan inflasi dapat dikendalikan dengan baik. mas/ama/ksm