Khidmat Piodalan di Pura Goa Lawah, Tetap Buka Untuk Wisatawan Dengan Pembatasan Ketat

Klungkung, PancarPOS | Suasana sakral menyelimuti kawasan Pura Goa Lawah, Desa Pesinggahan, Kecamatan Dawan, Kabupaten Klungkung, saat puncak upacara Padudusan Alit atau Piodalan berlangsung pada Anggara Kasih Medangsia, Selasa (13/5/2025). Pura yang dikenal sebagai salah satu dari enam Pura Sad Khayangan di Bali ini kembali menjadi pusat perhatian, bukan hanya oleh umat Hindu yang datang dari berbagai penjuru Pulau Dewata, tetapi juga oleh wisatawan mancanegara yang penasaran akan harmoni antara tradisi dan modernitas di tengah denyut pariwisata Bali.
Sejak pagi, alunan kidung dan suara gender menggema dari dalam pura. Para pemedek, dengan pakaian adat lengkap, terlihat khusyuk membawa canang dan banten menuju jeroan pura. Aroma dupa, kelopak bunga, dan suara gamelan menciptakan atmosfer religius yang menyentuh hati siapa pun yang hadir. Namun di luar suasana khidmat itu, aktivitas pariwisata tetap berjalan. Pihak panitia mengatur sedemikian rupa agar upacara keagamaan tidak terganggu, sementara wisatawan tetap mendapat kesempatan menikmati keindahan spiritual pura ini.
“Kami tetap membuka kunjungan wisatawan, namun hanya sampai area jaba pura. Untuk menjaga kesakralan upacara dan memberikan kenyamanan bagi umat yang sembahyang, utama mandala tidak boleh dimasuki,” ujar I Putu Juliadi, salah satu panitia pura, saat ditemui pada Senin (12/5/2025).
Menurut Juliadi, rangkaian upacara sudah dimulai sejak Senin (5/5/2025), ditandai dengan prosesi awal seperti nyujukang taring, ngunggahan sunari, dan ngawitin nyuci. Seluruh rangkaian Padudusan Alit ini akan berlangsung selama empat hari dan ditutup dengan upacara nyineb pada Jumat (16/5/2025).
Padudusan Alit sendiri merupakan salah satu upacara penting dalam siklus kehidupan pura, sebagai bentuk penyucian niskala untuk memperkuat aura spiritual pura dan menyelaraskan kembali energi sakral yang diyakini menjadi bagian dari jagat Bali.
Tak bisa dipungkiri, Pura Goa Lawah memiliki magnet spiritual dan historis yang kuat. Terletak di pesisir tenggara Pulau Bali, tepatnya di Pantai Goa Lawah, pura ini diyakini sebagai tempat suci stana Dewa Maheswara dan Sanghyang Naga Basuki—makhluk suci penjaga keseimbangan alam. Konon, goa di dalam area pura terhubung secara gaib dengan Gunung Agung, menjadikan lokasi ini sebagai titik penting dalam pelaksanaan upacara Nyegara Gunung ritual yang menyatukan elemen laut (segara) dan gunung (gunung).

Lebih dari sekadar tempat ibadah, pura ini juga menyimpan kisah sejarah peradaban Hindu Bali. Disebut-sebut sebagai salah satu tempat Ida Pedanda Sakti Wawu Rauh atau Danghyang Nirartha melakukan tirta yatra pada abad ke-16, keberadaan Padmasana di pelataran pura menjadi bukti perjalanan spiritual sang maharesi.
Didirikan oleh Mpu Kuturan pada abad ke-11, Pura Goa Lawah menempati posisi penting dalam struktur Sad Khayangan—enam pura utama penjaga arah mata angin di Bali. Dalam filosofi Hindu Bali, pura-pura ini tidak hanya sebagai tempat sembahyang, tapi juga sebagai penyangga keseimbangan kosmis.
Keunikan Pura Goa Lawah bukan hanya dari sisi arsitektur atau mitologinya, tetapi juga dari kemampuannya menjaga harmoni antara fungsi spiritual dan peran sebagai destinasi wisata. Setiap hari, ratusan wisatawan datang untuk melihat langsung gua yang menjadi rumah bagi ribuan kelelawar serta menikmati pemandangan laut yang membentang tepat di depan pura.
Namun saat upacara besar seperti Padudusan Alit berlangsung, pengelolaan kunjungan wisata dilakukan secara selektif dan penuh kearifan. “Kami ingin wisatawan tetap bisa menikmati keindahan pura, namun tetap menghargai tradisi yang sedang berjalan. Ini adalah wujud toleransi budaya yang harus terus dijaga,” imbuh Juliadi.

Kondisi ini mencerminkan dinamika pariwisata spiritual di Bali yang tidak hanya menjual eksotisme visual, tapi juga nilai-nilai kultural dan kearifan lokal. Wisatawan yang datang pun umumnya sangat menghargai batasan yang ditetapkan. Beberapa bahkan tampak terpesona, mengambil foto dari kejauhan sambil bertanya kepada pemandu tentang makna upacara yang tengah berlangsung.
Padudusan Alit di Pura Goa Lawah bukan sekadar seremoni, tapi penanda bahwa tradisi di Bali bukanlah artefak masa lalu. Ia hidup, bernafas, dan terus menyatu dalam denyut kehidupan masyarakat. Di tengah tantangan zaman dan derasnya arus pariwisata, semangat menjaga kesucian pura tanpa menutup diri dari dunia luar menjadi teladan harmoni antara warisan leluhur dan tuntutan modernitas.

Dalam sunyi gamelan dan khusyuknya doa yang dinaikkan, Pura Goa Lawah kembali memperlihatkan wajah Bali yang sesungguhnya: tanah spiritual yang mampu menyentuh hati, meresap dalam jiwa, dan membuka mata dunia bahwa di balik pesona wisata, ada kearifan yang dijaga dengan penuh taksu. ama/Ksm
